Apel Merah


APEL MERAH
Karya: Mas Azer


Di pertigaan jalan menuju puncak aku bertanya pada seorang kakek arah menuju villa dekat perkebunan apel. Yang ditanya malah kaget. Telunjuknya gemetar menunjuk arah sembari mengingatkan.

"Hati-hati, Nak. Salah satu kamarnya berhantu!"

Jujur, aku selalu ingin tertawa setiap kali melihat gelagat orang-orang kampung yang selalu percaya pada takhayul semacam itu.

Satu jam perjalanan, kami sampai di villa menjelang sore. Villa yang indah dan murah pula. Penjaga villa yang sikapnya dingin dan kaku membawa kami berkeliling.

"Ingat, jangan sekali-kali masuk ke kamar paling utara di lantai dua!" Kemudian dengan wajah dinginnya penjaga villa mohon pamit.

Karena kelelahan, seusai makan malam istri dan anakku pamit untuk tidur duluan. Aku mengangguk. Kini aku sendiri masih diam di tempat, penasaran dengan perkataan si kakek tua di pertigaan jalan, juga larangan penjaga villa separuh baya itu yang terkesan merahasiakan sesuatu.

Diam-diam aku menuju lantai dua. Gelap, pengap dan berdebu, penuh sarang laba-laba. Di ujung utara ruangan ada satu kamar besar, mungkin dulunya sebagai kamar utama, tapi kenapa dilarang masuk? Kalau melihat arsitektur bangunan villa ini, apalagi corak tembok di kamar itu, seharusnya dalamnya merupakan kamar mewah.

Aku jadi semakin penasaran saja. Aku berjalan mengendap agar tidak menimbulkan suara. Di depan pintu tanganku begitu saja mendorong daun pintu. Tak dikunci? Tanpa ba-bi-bu aku segera masuk. Tidak ada hal aneh apapun yang terjadi di kamar ini. Orang-orang saja yang memang suka mengada-ada terhadap takhayul.

Lampu kamarnya menyala redup, tapi keseluruhan ruangan masih bisa terlihat. Dan benar saja perkiraanku kalau ini adalah kamar yang indah dan mewah. Sebuah ranjang besar mewah berkelambu menghadap cermin besar yang ukiran bingkai kacanya terkesan klasik. Ada meja kecil berukiran indah.

Hey, di atas mejanya ada sebuah piring antik berisi apel merah segar yang sepertinya belum lama dipetik dari perkebunan. Heumh, sangat menggoda liurku.

Baiklah, aku akan mencoba satu gigitan untuk malam ini, kemudian kubaringkan tubuhku di atas ranjang. Sambil menatapi langit-langit aku kembali terkekeh mengingat kekolotan si kakek dan penjaga villa. "Benar-benar kampungan!"

Esoknya, aku terbangun dengan perasaan aneh, leherku terasa kaku. Kucoba bangkitkan badanku, tepat menghadap ke arah cermin besar. Terkejut, a-aku aku tidak percaya ini! Aku menggosok mataku berkali-kali. Sama saja. Bagaima mungkin cermin itu tidak memantulkan bayangan diriku. Aku mulia mencium bau anyir darah. Lagi-lagi aku dikejutkan hal mengerikan saat memaksa menolehkan leher kaku ini ke arah pintu, pemandangan yang tak pernah diinginkan; istri dan anakku tergeletak di lantai dengan darah mengucur di leher mereka.

Leherku terasa semakin tidak bertumpu, perlahan lepas dari badanku. Di atas piring antik, apel merah bekas gigitanku yang menyerupai bentuk mulut itu mulai menyeringai, berlumuran darah.

__usai
Blitar, 020417



Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url