Kehilangan


Setuba inikah rasanya?

***
Ini malam pertama sepulangnya aku dari kepergian yang cukup lama. Bersandar di tembok rapuh kamarku yang lusuh. Sendiri memamah sunyi dan sepi. Mendung yang menggantung di langit wajahku terus memaksa untuk meneteskan rintik. Ah, tidak, aku masih sanggup menahannya. Kugosokkan punggung tanganku di mata yang mulai berembun, aku tidak ingin ada tetes hujan yang derasnya membasahi keheningan.

Secara zahir, aku bisa saja mengelabuhi hujanan luka di mata, tapi sesungguhnya batinku sudah begitu banjir tergenangi prahara nasib yang menghanyutkan sayap-sayap harapan ke jurang kehampaan.
Ya, sayap yang pernah datang untuk melengkapi sayapku. Sayap yang senantiasa menerbangkan do'a-do'a rinduku saat malam menyelimuti lelapmu. Sepasang sayap yang saling memiliki harap untuk bisa sesangkar dalam satu atap. Sayap-sayap cinta.

Sayangnya, sayap itu kini sudah senyap, tidak lagi mampu menerbangkan harap. Sudah sangat koyak tertikam oleh tajamnya kertas merah jambu. Kertas yang mematahkan sebongkah harapan kita di waktu itu. Waktu di mana kita saling berjanji untuk tidak saling melepaskan sekalipun raga berjauhan. Nyatanya yang terjadi justru di luar kenyataan. Sungguh penganiayaan rasa dengan cara yang teramat kejam.

Kertas merah jambu.
Kau tahu, gelap sungguh perasaanku saat ini. Betapa rasa gulita sudah begitu dalam menanamkan cekam di rapuh hati, memadamkan cahaya cinta yang pernah menyinari dengan begitu terangnya. Bahkan tamanan rasa yang dulu kau tanami bunga-bunga kasih, layu seketika. Kini aku sendiri, lelaki dengan luka menganga di dada, terluka parah. Aku jatuh resah di pelukan hampa.

Argh!
Geram. Aku meremas kertas merah jambu berbingkai indah yang mengukir namamu dan nama seseorang yang bukan namaku. Mengapa, mengapa kau berbuat sekejam ini?! Mengapa kau memaksaku merasakan kehilangan yang sepilu ini?!

Batinku perih merintih. Aku benar-benar kehilanganmu. Sangat kehilangan.
Empat tahun lalu, lupakah kau pada tangismu yang menjadi saksi ucapan setia saat kau melepas kepergianku?
Lupakah kau pada janji setiamu yang akan tetap menantiku sampai tiba kepulanganku?

Kini, sebagaimana janji yang telah kita sepakati, aku telah kembali setelah empat tahun kepergian. Mengapa justru kau yang tega mengkhianati?!
***
Aku sudah berada di kamarmu setelah berjuang menyelinap diam-diam dari ramainya orang-orang di rumahmu. Aku masih ingat lorong-lorong rahasia yang sering aku lewati saat hendak bermalam denganmu.

Saksikanlah, gadisku. Aku sudah berada di belakangmu, berdiri berlagak gagah, bersikap tenang berpura-pura tabah. Tidak lupa lukisan senyum tanpa warna kupajang di wajah pucatku.

Dengan hati-hati aku berjalan ke arahmu yang masih menunduk terisak menatapi selembar koran usang tanpa menghiraukan hadirku, air mata hening menetesi halamannya. Tangisan yang mengingatkanku pada tangismu saat aku melambaikan tangan begitu kapal mulai berangkat. Tangisan pilu seorang kekasih yang seolah akan terpisah selamanya.

Penasaran, sehebat apa tulisan yang kau baca sehingga bisa membuatmu menangis seperti itu?
Kuintip koranmu. Mengernyitkan kening. Ini koran keluaran empat tahun lalu!

DAFTAR PENUMPANG TEWAS KAPAL ABC

Kutelusuri arah garis matamu yang lekat menatap satu baris. Tidak kupercaya, di urutan angka ke tujuh puluh tujuh tertulis namaku.

"Sesungguhnya, siapa di antara kita yang kejam?!" Kau sobek kertas koran itu, tubuhmu bergetar. Menatap ke arahku. "Siapa yang lebih kehilangan?! Siapa yang telah begitu lupa terhadap janjinya?! Siapa?!!"
Aku diam menunduk.

"Akulah yang kejam, aku yang ternyata tak memenuhi janjiku. Dan, kaulah yang lebih kehilangan?" Perlahan tubuhku memudar.
Maafkan aku, Gadisku.


___usai.
Karya: Azer



Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url