Lelaki Mendung

Lelaki Mendung



Kamu pergi
kemudian aku mendung
tak henti berhujan deras
banjirku hati, tak terbendung
tak nanti pelangi mewajah paras ...

***

Lelaki bertampang murung seakan gelap mendung tengah menatapi cermin yang pecah oleh satu tinjuan geramnya. Mata sayunya menatap nanar sosok bertelanjang dada di seberang cermin; terpampang wajah suram dan menyedihkan, seraut wajah yang kalah.

Di waktu ini, ia tengah memberontak melawan segerombolan kata-kata yang menyerbu pikirannya.

"Kumohon jangan datangkan kutukan kata-kata cengeng di kepalaku!" pintanya.

Hening. Tidak ada tanggapan.
Hanya kata-kata (yang baginya serupa kutukan) yang terus bermunculan di kepalanya, liar tak terkendali.


Kamu pergi
kemudian aku tanah
digempakan guncangan resah
hancurku hati, rusak parah 
retak-retak dan pecah
... 


"Kubilang hentikan!" Kali ini dengan nada membentak. "Jangan lagi berbual diksi. Kumohon hentikan, Duhai Tuan arwah pujangga! Jangan buat aku terlihat cengeng dengan sajak-sajakmu yang kehilangan jejak! Hatiku memang sakit, sangat sakit. Tapi sakit hati ini cukup kupendam sendiri. Jadi tak perlu ocehan bernada elegimu itu!"

Kamu pergi
kemudian aku ... 

Prakk!
"Kubilang diam!"

Lelaki yang kini wajahnya semakin mendung kembali melayangkan pukulan ke arah cermin. Kepalan tangannya berhenti di tengah cermin yang sudah kehilangan bentuk. Pecah sepecah-pecahnya seperti hati lelaki urakan itu. Darah di tangan semakin mengucur.

"Diam! Aku bukan lelaki cengeng. Aku masih sanggup bersikap tabah di hadapannya sekalipun bertopeng kepura-puraan." Ia menatap tajam sosok tak beraturan yang bentuknya berpencaran di antara retakan cermin.

"Duhai Tuan arwah pujangga yang tersesat dalam diriku, untuk kali ini kumohon jangan campuri pikiranku dengan keruhnya sajakmu itu!"

Hening lagi. Kemudian terdengar suara berat terkekeh dari arah cermin sembari berseru.
"Layaknya cermin yang retak, hati yang pecah tidak akan bisa disolasi. Karena itu bagi mereka yang patah hati, termasuk kau, puisi bisa jadi solusi." Suaranya menggema memenuhi ruangan yang berserak dan porak poranda. "Jangan berlagak hebat dengan berpura-pura tabah, Anak muda! Heh. Menyedihkan!"

Merasa tertampar, si lelaki patah hati itu melempar pandangan ke arah lain, dan tepat mengarah pada foto yang bingkainya patah dengan kaca pecah. Foto ia dengan mantan kekasihnya yang saling memasang senyum indah.

"Maaf, aku lebih nyaman dengan dia. Sebaiknya kita sudahi hubungan kita sampai di sini." Terngiang lontaran kata dari Wide, wanita yang sangat ia kasihi.

Ia pun menyambut perkataan wanitanya dengan senyum kecut.
"Lakukan apapun yang kau anggap itu membahagiakanmu. Bagiku tidak ada yang lebih penting selain melihatmu bahagia sekalipun tidak denganku." Ia membalikkan badan. Berusaha menyembunyikan matanya yang memerah dan mengembun. "Pergilah dan lekas jemput kebahagiaanmu itu."

Arrggh! Lelaki itu menutup erat telinganya. Kemudian diambilnya bingkai foto itu. Ditatapnya rupa gambar kekasihnya dengan mata berapi, "Kenapa, Sayang, kenapa harus dengan pria itu?!"


Cinta pergi
saat kamu nyamuk bersayap
kemudian dia cicak merayap
kemudian 'hop' dan kamu tertangkap
kemudian aku dinding; diam meratap 

aku masih dinding 
mewarna pucat
hampir sekarat 



Pada akhirnya ia menyerah dan membiarkan kata-kata menghujani langit mendungnya.
"Aku ucapkan selamat atas ketidakselamatanku," lirihnya.






Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url