Puisi-puisi Lovembers
Lovembers, merupakan salah seorang penulis perempuan yang saya kenal di Platform Plukme! (saat ini sudah hilang situsnya). Bisa dibilang saya ngefans sama tulisan-tulisannya.
Bagi saya, dia merupakan penulis yang ramah, dan mau berbagi ilmu kepenulisan. Selain puisi dia juga penulis cerita dengan alur yang mengesankan, flashfiction dengan twits yang mengejutkan, dan tulisan keren lainnya. Lovembers ini ternyata memang benar-benar seniman, karena dia tidak hanya lihai melukis kata, tetapi juga lihai dalam hal melukis rupa.
Namun, pada kesempatan ini, Mas Azer
hanya membagikan karyanya yang berupa tulisan puisi sebagai suatu kehormatan
dan sebuah pengenang di blog sederhana ini. Dan tentunya sudah atas izin dari
kakak penulisnya.
Mendaulat purba rinduku
Terekam pada lembaran akhir kalender usang yang mencantum hanya bulan-bulan ganjil
Letih sudah terbaring
Lelap mendengarkan dongeng tentang baju hangat yang kau pakai dengan terbalik
resah sudah mengalah
santun tertunduk dibius wangi parfume yang selalu membuntuti
Entah bila, atau mungkin nanti malam
rinduku akan menghampirimu lagi dengan bibir geletar
Membawa tanya bagaimana atau mengapa yang seringkali terkadang batal dia sujudkan.
Mengajarinya tertawa layaknya anak-anak angin yang bersenda gurau dengan helai rambutmu.
Supaya dia faham, risau tak perlu dipelihara, sebaiknya segenap permintaan cukup dilintaskan dalam doa.
Ada cerlang di matamu,
aku baca sebait kalimat penghantar di lembaran kertas yang ditulis pujangga piatu
Puisi-puisi beraroma basah tanah
Kata-kata yang bermuatan gundah
serta suara hening yang tertiup lamban daun-daun trembesi
1. PUISI RINDU
Kiranya, waktu kita tak pula jadi hakim adilMendaulat purba rinduku
Terekam pada lembaran akhir kalender usang yang mencantum hanya bulan-bulan ganjil
Letih sudah terbaring
Lelap mendengarkan dongeng tentang baju hangat yang kau pakai dengan terbalik
resah sudah mengalah
santun tertunduk dibius wangi parfume yang selalu membuntuti
Entah bila, atau mungkin nanti malam
rinduku akan menghampirimu lagi dengan bibir geletar
Membawa tanya bagaimana atau mengapa yang seringkali terkadang batal dia sujudkan.
Mengajarinya tertawa layaknya anak-anak angin yang bersenda gurau dengan helai rambutmu.
Supaya dia faham, risau tak perlu dipelihara, sebaiknya segenap permintaan cukup dilintaskan dalam doa.
Ada cerlang di matamu,
aku baca sebait kalimat penghantar di lembaran kertas yang ditulis pujangga piatu
Puisi-puisi beraroma basah tanah
Kata-kata yang bermuatan gundah
serta suara hening yang tertiup lamban daun-daun trembesi
Sejak malam itu. Kau akan sadar bahwasanya rindu tak ubahnya sepenggal dosa kecil yang akan dapat terampuni hanya dengan satu pertemuan
Langkah kepergian hanya cara diriku membuktikan bahwa bumi ini bulat.
Berjalan menjauh agar bisa menemukanmu lagi.
2. TANGISAN TAK TERDENGAR
Mata yang sembab itu perlahan mulai terbuka ... dipaksa terbukaTanpa ada alasan ternyata pagi tadi ... seketika rindunya tumpah di ruang tengah.
Berhamburan pun tak lantas mengusang.
Tangisan yang tak terdengar itulah yang menjadikan matanya menyembap.
Kejenuhan kian merasuki kedua retinanya, sebab hujan selalu hilang kala dirindukan.
Kecewa mulai menyelinap pada genderang telinganya, karena desir angin kini tergantikan riuh bising mesin kendaraan.
Kenangan yang merenta masih tersimpan pada lembaran tanya
Masihkah ada rahim yang merindukan?
Adakah rumah yang menanti kedatangan?
Atau bahkan, mungkinkah ada hati yang menerima?
Bersama nada yang jenuh, pertanyaan-pertanyaan itu tetap gaduh bergemuruh di setiap hembus napasnya yang dahulu angkuh
Lembar demi lembar hari tak juga segera mengakhiri peri, dan sepasang mata yang mulai kehilangan seri tak juga berkedip menyusuri rindu yang rapi terkemasi.
Menangkup rapat imajinasi perihal renjana yang selalu menyakiti
Melahap sisa-sisa kemarau lalu bermimpi akan turun nya hujan
Di lingkaran fikirannya, deru waktu memerintahkan langkahnya agar segera melambat.
Seakan memberi peluang untuk ingatan mengumpulkan kenangan yang semestinya telah ia buang di keranjang usang.
3. SECABIK LANGIT
Di hadapan hujan lebat, segala kenangan berkelebatKata-katamu mengguncang petang,
seakan ingin menyudahi kita
Seakan musim berganti bukanlah hal yang penting untuk kewarasan cinta.
Sedangkan cinta ini rentan air mata pun mudah teracuni cuaca.
Aku berjuang menjaga kesadaran
menyiapkan segala kalimat, walau bagiku, kenangan masih gerimis yang menetes dari atap, senantiasa memisahkan tidur dari igau yang memerangkap.
Sehabis musim penghujan ini
Langit hanya membagi separuh birunya untuk kita tinggali. Karena separuh biru lagi, adalah untuk perkara pedih lainnya.
Bagaimana? Keren, kan.
Nah, bagi kamu yang tertarik baca-baca tulisan Kak Lovembers yang lainnya bisa berkunjung ke sini: