Wujud Puisi




Nona pernah berkata,
“Apapun yang kau tulis aku selalu menyukainya, senantiasa indah dalam pandangan rasaku. Tapi anehnya, dirimu sendiri terkadang menganggap puisimu sampah bahkan tak layak kau sebut puisi. Mengapa?”

Aku tersanjung pada kalimat pembukanya. Tapi tunggu ... biar kurangkaikan kata untuk ujung tanya.

“Aku percaya bahwa puisi adalah keindahan. Hanya saja, ketika aku memuisikan dirimu aku selalu merasa gagal. Bahkan merasa semua kata-kata patah bila dihadapkan dengan keindahanmu, diksi-diksi bersembunyi dengan perasaan tidak pantas untuk membandingkanmu. Setiap kali aku hendak melukiskan dirimu di atas kanvas puisi, segala bentuk keindahan yang hendak kukuaskan seketika memudar. Aku ingin menyamakanmu pada purnama dengan kebeningan dan ketenangan cahayanya, membandingkan gairahmu dengan gelora matahari, mengiaskan rona pipimu pada jingga senja, atau seulas senyummu dengan semegah bulan sabit, tapi semuanya bertekuk lutut melihat keindahanmu ...

Puisiku tidak tahu harus dengan diksi yang mana lagi untuk menuliskan keindahanmu. Karena dalam pandanganku dirimu adalah wujud puisi, puisi di atas puisi. Puisi yang tidak kutemukan kata yang bisa membandingi diksimu, puisi yang tidak kudapati rima semewah dirimu.

Engkaulah perwujudan puisi
yang aku berharap
bisa menjadi bagian dari diksi keindahanmu, Nona.


Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url