Cerita Mini - Prasangka
POV: Ahli Ibadah
Sudah jadi rutinitas setiap shubuh aku meninggalkan kehangatan rumah seusai membersihkan diri bersuci dari hadats. Rela melawan dingin demi mendapat 27 derajat pahala di masjid yang terletak di bagian selatan desa. Sekitar 15 rumah yang harus kulewati sebelum sampai ke sana.
Aku memilih berjalan kaki, soalnya menurut hadits setiap langkah menuju masjid akan dicatat pahala, begitu juga pulangnya. Aku akan memilih jalan yang berbeda saat pulang dari masjid karena jalanan akan menjadi saksi atas jejak langkahku.
Sesekali angin bertiup lirih menusukkan dingin di tubuhku. Pantas saja orang-orang memilih mendengkur dan bersembunyi di balik selimut di waktu ini. Mereka masih memenangkan selimut ketimbang bertarung melawan dingin demi berjuang meramaikan shubuh. Miris, jamaah sholat shubuh nggak pernah lebih dari enam orang beserta imam. Huh! Begitu kok berlagak membela islam. Ramaikan jamaah shubuh, itu baru pantas disebut membela islam.
Memasuki deretan rumah ketujuh dari rumahku. Satu rumah yang agak terpisah dengan rumah lainnya. Rumah yang aku harus menahan napas, karena setiap melewatinya aku mencium aroma-aroma kegelapan kuburan.
Penghuninya seorang wanita yang kata orang cantik, putih, tinggi semampai, dan selalu berpakaian kurang. Keluar rumah ketika hari mulai gelap dan pulangnya ketika waktu di penghujung gelap. Wanita apaan kelakuan semacam itu.
Sialnya, kali ini aku terpaksa berpapasan dengannya, dia sedang membuka pagar rumahnya. Sebenarnya aku ingin berlari saat melewatinya, tapi tentu akan merusak citra yang sudah kubangun selama ini karena tidak menjaga keharmonisan bermasyarakat.
Ah, kenapa shubuh ini aku harus melihat wanita ini. Membuatku mual. Aku alergi melihat pelaku dosa. Perlahan aku mencoba tarik napas, tahan, dan berusaha berjalan seperti biasa.
"Berangkat subuhan, Ustadz!" sapanya begitu langkahku hampir mendekatinya, diiringi senyuman. Pakainnya itu aduhai. Ampuni hambamu ini, ya Tuhan.
"I-iya, Mbak," balasku sok ramah sambil pura-pura tersenyum, "Permisi!" lanjutku seraya bergegas berlalu.
Menjijikkan! Menjijikkan!
Dasar neraka! Neraka!!!
Akhirnya rumah itu terlewati.
POV: Pendosa
Lima tahun lalu aku masih tinggal bersama kedua adik laki-lakiku di rumah peninggalan orang tuaku. Ibuku meninggal gantung diri di bawah pohon belakang rumah. Ayahku penyebab semua ini, dia pergi dengan wanita lain yang lebih muda.
"Kalian semua biadab!" jeritku.
Aku baru masuk SMA waktu itu, adik-adikku masih kelas di Sekolah Dasar. Sebagai anak pertama aku menggantikan posisi ayah dan ibu sekaligus. Dan berusaha menjadi kakak yang baik buat mereka. Aku sangat menyayangi kedua adikku itu. Aku terpaksa berhenti sekolah dan bekerja sebisaku demi mereka bisa makan dan melanjutkan sekolah.
Sampai suatu ketika aku mendapat tawaran kerja di seberang pulau dengan iming-iming gaji yang menjanjikan, segera kuterima tawaran itu. Adik-adikku kutitipkan pada guru ngaji yang dengan senang hati menerimanya.
Sampailah aku di kota ini. Ternyata aku ditipu, dan aku sudah benar-benar terjebak. Aku ingin berontak, aku ingin lepas dari lingkaran ini, tapi aku diancam oleh mereka, pun desakan ekonomi memaksaku harus kuat dan bertahan demi membiayai adik-adikku.
Ini bukanlah hidup yang kuinginkan, menjajakan selangkangan dan menjadi comberan pembuangan nafsu bejat lelaki berkantong tebal, yang beberapa bahkan sudah beristri dan mempunyai anak.
Menjijikkan! Aku sungguh menjijikkan!
Setiap kali aku ingin mencoba mengakhiri hidup, wajah adik-adikku selalu terbayang. Aku tidak boleh mati demi adik-adikku.
Shubuh ini, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Saat aku tengah membuka kunci gerbang, seorang pemuda berpakaian muslim rapi melangkah melewati. Tidak enak rasanya jika tidak menyapa. Meski hatinku terasa pilu, bergejolak dan bergetar. Penyesalan dan tangisan selalu tersimpan di hatinya.
"Berangkat subuhan, Ustadz!" sapaku begitu langkah pemuda itu hampir mendekat.
"I-iya, Mbak," balasnya ramah, "Permisi!" lanjutnya seraya berlalu.
"Ya Allah, betapa mulianya Engkau.
Memiliki hamba yang istiqomah seperti tetanggaku, sementara aku bergelimang lumuran dosa.
Ya Allah, aku sangat ingin seperti dirinya, hidup terhormat dan jauh dari dosa serta perbuatan maksiat. Ya Allah, bantulah aku keluar dari lingkaran kegelapan ini, kembalikan aku pada jalan-Mu. Mudahkanlah keinginanku ini dan janganlah Engkau biarkan aku terus dalam keadaaan tersesat seperti ini."
Butiran bening membasah di mata.