Kunjungan

Catatan: Tulisan ini adalah sebagai refleksi permainan khayal atas teman baikku si Macho Pengukir Langit. Membayangkan dia berkunjung ke tempat tinggalku yang kumuh dan berdebat soal wanita. Hehe
emoticon-Blue Guy Bata (L) Ane Punya Koleksi Karakter Emoticon Dari KASKUS

Kunjungan

Di antara ribuan detik, kau memilih waktu ini ...

Sore ini kau berkunjung ke kandang kumuhku. Tumben, lelaki macho --dengan wangi kata-katanya yang mampu membuat hati para wanita melambung sampai pipi-pipi tembem mereka berwarna senja-- berkenan singgah di tempat kumuh seperti ini; bau keringat, bau sapi, kotoran sapi, dan bangkai-bangkai rumput yang tak habis dimakan.

Aku senang, kau lelaki yang selalu mengaku diri sebagai lelaki macho (aku lebih suka menyebutmu sebagai lelaki spesialis kewanitaan) datang berkunjung. Sayangnya tanpa membawa apa-apa. Heumh, dasar.

"Silakan duduk!" Aku mempersilakan. Tanpa senyuman.

Segera kau menempati lantai kayu yang baru saja kubersihkan dari debu yang bercampur keringat; bagi yang belum terbiasa bukan main aromanya. Dan kau, bukan main tabahnya; berpura-pura menahan diri dalam kebusukan semacam ini.

Maaf saja, aku belum sempat nyuci. Lebih tepatnya tidak sempat. Gelas bekas kopi tiga hari lalu yang mulai berjamur dan dijilati cicak, masih berdiam di dekat asbak berisi tumpukan puntung rokok yang berserak. Baju-baju kotor menumpuk di pojokan, di gantungan, di pintu lemari, di atas meja lapuk juga di pagar depan sana. Maklum, aku bujang yang terperangkap di detik waktu yang berantakan.
 
Di kamar panggung yang kubuat asal-asalan, kau menghadap ke arah sungai. Pemandangan yang indah, katamu. Justru bagiku, itu sudah terlalu membosankan. Aku ingin pemandangan yang baru. Gunung, misalnya. Bukan sembarang gunung.

Secangkir puisi aku suguhkan ke hadapanmu. Baru mencium aromanya saja kau sudah mual, menahan muntah. Matamu memerah.
"Terbuat dari apa puisimu ini, Zer?!" Kau memegangi perut. Aku -lelaki yang tidak pernah tersenyum- hampir tertawa melihat ekspresi wajahmu yang terlipat kusut seperti tisu wc. Sungguh jauh dari kata macho.

"Aku meramunya dari darah dan air mata betina yang jatuh (dari) cinta, prahara lara dan luka yang berduka. Ada pula campuran pecahan hati mereka yang kuhaluskan menjadi bubuk, kucampur lagi dengan tangisan diksi yang jeritan kekecewannya meraung pilu. Lalu kupanaskan di atas tungku keputus-asaan. Dan kini, aku menuangkannya ke dalam secangkir kepura-puraan di hadapanmu."

"Apa itu artinya kau dan puisimu melukai seorang wanita!"

"Bukan seorang, bahkan lebih. Hanya saja, aku merasa tidak melukai siapapun. Mereka sendiri yang melukai diri mereka sendiri dengan mengatasnamakan aku," aku membakar sebatang rokok lintingan yang kucampurkan sedikit kemenyan.

"Azer, ijinkan aku sedikit berbisik di telinga kehidupanmu," kau memperbaiki posisi dudukmu, rasa mual sepertinya mulai bisa kau atasi. 

Aku mengebulkan asap tebal dari mulut. Mengoarkan aroma yang jika tidak lekas kau menutup hidungmu bisa-bisa kau mengalami gangguan pernapasan. Untung saja kau lelaki macho.

Aku menatapmu sinis.
"Hmm ...," gumamku mengijinkan agar kau meneruskan bisikmu itu.

"Hati perempuan adalah kaca," kau mulai membualkan kalimat manis yang mengalir di bibirmu. Baik, lanjutkan! Sekalipun aku tahu ini akan panjang dan memotong waktu ngaritku. Tenang saja, telinga kananku siap menerima. Asal jangan lupa, masih ada gerbang telinga kiri yang siap menjadi pintu keluar bagi kata-kata.

"Sekali kau pecahkan, maka butuh waktu untuk kemudian menambalnya ulang. Agak lama!" lanjutmu dan bla, bla, bla ...

Menambalnya? 

Prang!
Aku menjatuhkan gelas beling. Pecah.

"Sama-sama kaca, kan. Anggap saja itu hati wanita yang kau cakapkan. Sekarang apa yang akan kau lakukan?! Menambal ulang atau membuangnya kemudian mengganti dengan yang baru?" aku menyanggah kalimat yang kau alirkan barusan.

"Sesuai dengan kataku, aku akan menambalnya meski butuh waktu agak lama!"

"Omong kosong! Kau hanya pandai memainkan kata-kata dan mengesampingkan logika! Gelas pecah itu tidak akan bisa utuh kembali. Aku cukup memakai yang baru, dan tak perlu yang kaca."

"Jangan samakan gelas dengan hati."

Ah, rasanya muak dengan segala yang kau ocehkan. "Sudahlah, aku permisi!" Aku beranjak.

"Hey! Kenapa kau yang pamit? Ini, kan, tempatmu."

"Kau membuatku tidak betah di sini!"

"Lantas kau akan beranjak kemana?"

"Ngarit!"

"Aku ikut!"

"Tidak perlu! Kau tambal saja pecahan gelas tadi, atau mengoceh saja di depan para sapi betina di sana dengan manis kalimatmu yang feminin!"

Kau terdiam, membelakangi rasa kalut. Di detik ini, melihat raut wajah dan kondisi batinmu sungguh jauh dari kata macho. Jaaauh.


.usai.
By: Azer di atas tanah
290917


Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url