Coretan - Percakapan



Sesaat setelah hujan reda, aku mendapatimu tengah berdiam di tepi genangan air keruh, memandangi lengkung pelangi. Secara, aku pun turut menyaksikan keindahan yang menciptakan jeda. Dari arah sini, dari sisi yang berbeda kita sama mengeja warna-warni yang membuat mata dan hati kita terpana.

Pada detik bisu kita yang menjemukan, aku mulai melontarkan kata. Tanpa memalingkan pandangan. "Sesekali, aku mendapatimu merayu Tuhan lewat puisi. Apa Tuhan menanggapinya?"

"Tidak. Sama sekali tidak," jawabmu.

"Sekadar memandangnya, mungkin?" lanjutku.

"Tuhan tidak memandang manisnya kata-kata yang aku merayu-Nya lewat tuangan diksi dalam secawan puisi. Tidak juga pada indahnya gubahan syair yang kualirkan sebening air. Justru Tuhan lebih memandang pada manisnya perlakuanku pada orang lain dan memperhatikan bagaimana indahnya sikapku atas pahitnya perlakuan orang lain terhadapku."

Aku menoleh ke arahmu. Menatap dalam matamu dengan sorot yang tidak mungkin kaupahami.

"Jika begitu, apa hubunganmu dengan puisi?"

"Tidak ada. Aku dan puisi hanya omong kosong basa-basi bau basi yang membualkan karatan besi."

Tiba-tiba tampak seorang anak kecil berlarian riang dengan tubuh yang kuyup sehabis bermandi hujan. Lalu sambil tertawa kegirangan melempar batu ke arah genangan air keruh di hadapanmu, lebih tepatnya melempar diriku yang berada di dalamnya.

Entah sejak kapan, dan entah mengapa pula aku harus serupa denganmu.

Si anak tertawa puas saat satu di antara ratusan cipratan air yang ia ciptakan berhasil mengecup pipimu. Kau tersenyum sembari meninggalkanku yang kehilangan bentuk di bawah air beriak.

__Azer, 310517



Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url