CERITA MINI | Aku, Kau, Kopi dan Puisi



Aku, Kau, Kopi, dan Puisi

Pada suatu ketika di halaman waktu, kita duduk berdua; aku dan kau, Nona.
Kau bersandar nyaman di bahuku sambil membuka lembaran buku coretan puisiku. Kau mengeja diksi-diksi yang sebenarnya purba ilusi, patah kata- kata; punah makna.

"Sepertinya aku lebih jatuh cinta pada puisi-puisi ini ketimbang penulisnya," guraumu.

Aku sedikit terkekeh. Sejenak menyeruput kopi buatanmu. "Umh, bahkan kopi ini lebih puisi ketimbang rasa-rasa basi yang aku tulis di buku itu. Dan sepertinya aku lebih jatuh cinta kepada kopi ini ketimbang peraciknya," balasku.

"Kalau begitu lain waktu aku tidak akan membuatkanmu kopi lagi!" Kau menimpali.

"Humh? Kalau begitu aku juga tidak akan menuliskanmu puisi lagi."

"Aku tidak peduli. Kata-kata yang sudah tertulis ini sudah cukup untukku. Bukankah kata-kata yang sudah tertulis akan abadi?! Tidak dengan kopi itu. Dia akan habis setelah melewati lidah dan kerongkonganmu sampai masuk ke dalam perutmu. Parahnya lagi, ia akan berakhir di toilet." Kau tertawa menang.

"Ya ya ya, baiklah, Nona manis, kau benar, dan akan selalu benar. Dan baiklah, aku mengalah."
Akan percuma jika harus beradu argumen dengan perempuan. Apalagi cuma soal kopi dan puisi. Kalian tahu, mencari dalih kebenaran di hadapan seorang wanita itu merepotkan.

"Zer ..."

"Hmm."

"Apa yang sebenarnya kau sebut puisi?" tanyamu. Lantas menyeruput kopi dari gelasku.

"Hey, itu gelasku!"

"Biarin. Aku cuma ingin menikmati bekas kecupan lelaki puisi pada ujung bibir secangkir kopi ini. Semanis puisinya atau justru menambah pahit kopi ini. So, buruan jawab pertanyaanku!"

"Dasar!" gerutuku pelan. "Puisi ya. Umh, kalau aku melihat puisiku, bisa jadi ia hanya halusinasi. Kata kata kata penebar pesona yang tak mempesona, dan kertasnya bisa buat bungkus terasi."

"Jadi saat kau bilang aku adalah puisimu, itu berarti aku cuma halusinasi bagimu dan aku bau terasi?!" Kau memajukan bibir, merengut.

Aku tersenyum melihat gelagatmu. Kusentuh dagu mungilmu. Pada manyun bibirmu, kukecupkan manis puisi tanpa puisi. Kau membalasnya sembari memejamkan mata, menikmati kemanisan yang melebihi diksi puisi.

Percayalah, kau adalah sebenar puisi. Jauh melebihi puisiku yang sekedar kata-kata.

Pada akhirnya, kata-kata menutup mata setiap aku menatap paras puisi di senyummu.


Usai.

Ditulis oleh: Mas Azer
Gambar by: Pixabay


Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
2 Comments
  • Anonim
    Anonim 27/09/19, 15.01

    Manis sekali

    • Mas Azer
      Mas Azer 29/12/19, 14.29

      terima kasih

Tulis Komentarmu
comment url