Say Yid - Titik Cair


masazer.com


Ditulis oleh: Say Yid Yid


Jika suara-suara berisik itu mengiang di telinga saat kantuk menguasai mata, maka itu hal biasa di setiap malamku. Namun kali ini berbeda. Kegaduhan itu betulan tampak di depan mata. Sepasang orang dewasa di rumahku sedang beradu mulut di ruang tamu. Mereka saling berteriak mengungkit kesalahan. Membuatku muak seketika.

Aku yang baru saja akan membuka pintu depan, cepat-cepat mengurungkan niat rebahan setelah seharian mengejar-ngejar dosen untuk bimbingan. Tidak punya jadwal tetap ternyata repot juga. Sungkan semisal harus menghubungi duluan. Sudah terlampaui sering, soalnya. Maka menunggu adalah jalan ninjaku.

Entah sampai kapan ....
Entah sampai kapan .... 🎶

Kuraih kembali stang. Melangkah keluar gerbang. Entah ke mana kaki mengayuh, melarikan hati yang tidak nyaman sama sekali.

"Diedit, dong!"

Wajah Bu Saras terlihat ketus saat mengatakannya siang tadi. Allah ... sebetulnya sudah kuedit. Hanya saja belum sempat kucetak lagi sebab ternyata listrik padam dua menit kemudian. Maka, lembaran minggu lalu kuajukan kembali.

Tidak mungkin beralasan begitu, kan?

Kukira, beberapa kesalahan tidak perlu diklarifikasi. Karena pasti terkesan ngeles. Jadilah aku diam saja sambil mencoret-coret kertas. Menuliskan kesalahan-kesalahan yang sebetulnya sudah aku perbaiki semalam.

***

[Sangit, jangan sok nggak keren gitu. Rampungkan yang kamu mulai.]

Satu chat WA baru saja masuk. Kulihat dari tumpukan notifikasi tanpa berniat membukanya.

Pesan itu dari First Reader yang kerap mengingatkanku akan proyek menulis yang tengah digarap. Niatnya baik. Aku sangat paham. Tapi ... tolonglah, jangan sekarang. Otakku benar-benar ... hah!!!

Kumasukkan kembali ponsel setelah mematikan data. Mulai menggowes.
Menikmati matahari tenggelam di jembatan layang tengah kota, mungkin ide bagus melepas penat sore ini.

Setelah dua puluh menit mengayuh, kuambil jalur kiri di perempatan.

Kalian ... jika melihat goweser mengayuh seperti kesetanan, mungkin kepalanya sedang seriuh aku sekarang ini. Serasa semua klakson kendaraan di jalan raya dibunyikan.

Saat mulai menanjak, kutuntun kembali sepeda yang telah empat tahun setia menemani hampir semua kegiatanku. Sesekali kubasahi kerongkongan dengan air mineral di saku ransel.

Sampai di tempat yang aku idamkan. Pemandangan kota cukup mengasyikkan dari atas sini. Kuparkirkan sepeda di trotoar. Mengabaikan kendaraan ramai lalu lalang. Aku berniat menikmati langit barat yang sebentar lagi mempertontonkan tumbangnya mentari.

Sayangnya, tiba-tiba mataku memanas.

Apakah mentari juga enggan berbincang denganku?

Di ujung langit barat, dia sedang didekap awan abu-abu. Seolah sepakat tidak menginginkan pertemuan denganku.

Baiklah. Aku berbalik arah. Seketika kulihat wajah dengan mata membulat. Mungkin sama kagetnya denganku. Tidak sedikit pun menyangka akan bersua di tempat ini.

Kacamata yang baru saja kubersihkan, masih kugenggam. Berharap yang kulihat tidak benar. Berharap tiada jelita lain di balik punggung pemuda yang hampir saja kupercayakan hati.

Apa-apaan, coba?

Hahaha.

Lengkap sudah hari ini. Kulewati dua manusia yang mungkin memiliki niatan sama sepertiku sore ini-- menikmati waktu di tempat yang juga dia pernah membawaku menikmati riuh senja kota ini.

Mimik dan gerak tangannya seolah berisyarat, 'aku bisa jelaskan.'

Sayangnya, tidak semudah itu, Bambang!

Hahaha.

Tertawa di balik masker, ternyata menyenangkan juga. Meski panasnya mata tidak bisa lagi kuhalangi untuk tidak melelehkan kristal-kristal itu.

Aku mau pulang. Tapi tidak di rumah tadi. Aku mau pulang, tapi entah ke mana.

***
Bersama panggilan yang segera menggema dan bersahutan di langit, hari ini aku mengaku kalah, Rabb. RengkuhMu adalah terhangat. Mohon rengkuh aku. Sekarang. Mohon!

Sedihku ini tak ada arti
Jika Kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati
🎶


Perempatan NH, 3 Januari 2020
#SongFiction_Impian_KC




Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url