Kumpulan Puisi Sufi Maulana Jalaluddin Rumi

1
2
3
4
5
6
7
8
Ruang Kata img

MUSUHMU YANG SEBENARNYA

Ar-RumiMatsnavi, I no 3694-3706


Tahukah engkau siapa musuhmu sebenarnya?
Mereka yang dibuat dari api adalah musuh
dari yang dibuat dari tanah. [1]


Api adalah musuh dari air dan keturunannya;
demikian pula air adalah musuh bagi nyalanya api.

Jelasnya, api di sini adalah api hawa nafsu, yang
di situ terletak akar dari dosa dan kesalahan.

Api kasat mata dapat engkau padamkan dengan siraman
air, sementara berkobarnya api hawa nafsu dapat
membawamu ke Neraka.

Api hawa nafsu tak dapat diredakan dengan air, karena
dia memiliki ciri Neraka, yaitu tak pernah puas
menyiksa.

Apakah obat bagi api hawa nafsu?
Cahaya Agama:
cahaya keberserah-dirianmu adalah sarana
untuk memadamkan api kekufuranmu.

Apakah yang memadamkan api ini?
Cahaya Allah,
jadikanlah cahaya nabi-Nya, Ibrahim a.s. sebagai gurumu. [2]

Sehingga jasadmu yang bagaikan kayu
dapat diselamatkan dari nyala hawa-nafsu, yang bagaikan
api Namrud. [3]

Kobaran hawa-nafsu takkan padam karena diperturutkan;
tapi dapat dipastikan dia akan surut dengan membiarkannya
tak terpuaskan.

Api akan terus membara, jika kayu bakar engkau
sodorkan kepadanya.

Jika engkau tarik kayu bakar itu, api akan padam;
takutmu kepada Tuhan itu bagaikan air yang disiramkan
kepada api.

Sungguh sayang, jika api hawa-nafsu menghanguskan
cantiknya wajah-jiwa; yang seyogyanya memerah-mawar:
pancaran dari takwa di dalam qalb.

______________________

Catatan:
[1] QS [38]: 76
[2] QS [4]: 125
[3] QS [37]: 97, [21]: 69

*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Ruang Kata img

MUSUH TERBESARMU

Ar-Rumi: Matsnavi III: 4063-4066

Jika bukan karena perkasanya ke'aku'anmu sendiri
yang telah menyergapmu dari dalam,
takkan penghadang dari luar diri
mampu mencelakaimu.

Karena tuntutan syahwatmu,
hatimu telah tersandera oleh kerakusan,
cinta dunia dan niat buruk.

Sekian lama terpenjara di dalam dirimu sendiri,
engkau berubah menjadi pencuri rakus,
yang semakin lemah di hadapan kuasanya.

Simaklah nasehat Sang Nabi nan bijak bestari:
“Musuh terbesarmu berada di antara ke dua sisimu.”

_______________

*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.

Ruang Kata img

MUSUHKU DIRIKU SENDIRI

Ar-Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1523.


Bukanlah aku
seperti seekor singa perkasa,
mampu tundukkan musuh-musuhku.

Jika 'ku dapat
tundukkan diriku sendiri,
cukuplah itu bagiku.

Sungguhpun aku,
serendah-hitam tanah,
karena yang kurawat
adalah sebutir bibit
bernama Cinta,
kan kutumbuh-kembangkan
bunga lily putih di padang rumput.

Ketika aku dalam gelap gulita
merintihkan perpisahan,
selalu 'ku yakin
aku akan menembus,
menebarkan cahaya,
di tengah gelapnya malam.

Ada api bernyala dalam diriku,
walau ragaku pucat dan lusuh.

Karena aku akan membubung naik,
bagai asap,
keluar menembus penjaraku.

Aku seorang anak kecil,
guruku adalah Cinta,
tentu guruku takkan biarkan
aku tumbuh jadi seorang bodoh.

_______________

*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nader Khalili, dalam Rumi: Fountain of Fire, Burning Gate Press, 1994.

MI'RAJ KE DALAM PERUT PAUS

Ar-Rumi: Matsnavi III: 4511-4516, 4519


Ketika Sang Kekasih menjadi sahabat,
tempat manapun menjadi
“bagaikan di langit;”
dan bukan “terbenam ke bumi.”

Sang Nabi saw, berkata,
“Jangan menyangka mi’raj-ku lebih unggul
daripada apa yang terjadi pada Yunus; [1]
aku diangkat ke langit;
dia ditenggelamkan ke dalam perut paus; [2]
kedekatan pada al-Haqq itu di luar perhitungan.”

Kedekatan itu bukan soal naik atau turun:
kedekatan pada al-Haqq itu artinya
kemerdekaan dari penjara keberadaan.

Tiada tempat bagi gerak “ke atas”
atau “ke bawah” dalam ketiadaan.

Ketiadaan tak mengenal “nanti,”
“jauh,” atau “terlambat.”

Sumber ilmu dan khazanah al-Haqq
berada di ketiadaan.
Karena keberadaan ini saja telah menipumu,
bagaimana mungkin kau pahami
apa itu ketiadaan? [3]

Kekurangan adalah bagian dunia
yang telah ditentukan bagi sang Nabi saw,
kefakiran dan kerendahan
adalah kebanggaan dan kemuliaannya.

Catatan:
[1] Nabi Allah Yunus as, dimuliakan dalam Al Qur’an, menjadi nama surat ke 10.

[2] Mawlana Rumi menerangkan bahwa saat pencapaian ruhaniyyah tertinggi nabi Yunus as, terjadi ketika jasadnya ditenggelamkan, lalu untuk beberapa saat dimasukkan kedalam perut seekor paus. Lihat antara lain, QS [21]: 87 dan (QS [37]: 143)

[3] “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak; seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadiid [57]: 20)

*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.


MEREKA YANG TELAH MATI

Ar-Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 972


Para pencinta,
yang dengan ikhlas
mati dari diri mereka sendiri:
mereka bagaikan gula,
di hadapan Sang Kekasih.

Pada Hari Perjanjian [1]
mereka minum Air Kehidupan,
sehingga matinya jiwa mereka
tak seperti kematian orang lain.

Karena mereka telah dibangkitkan dalam Cinta,
kematian mereka tak seperti
orang kebanyakan.

Dengan kelembutan-Nya,
mereka telah melampaui tingkat para malaikat;
sama sekali tak bisa kematian mereka
dibandingkan dengan orang kebanyakan.

Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing,
jauh dari hadirat-Nya? [2]

Ketika para pencinta mati di tengah Jalan,
Sang Raja Ruhaniah berlari menyambut. [3]

Ketika mereka mati di kaki Sang Rembulan, [4]
mereka menyala bagaikan Matahari. [5]

Jiwa para pencinta sejati itu bersatu
mereka mati dalam saling mencintai. [6]

Derai embun Cinta membasuh jantung mereka,
mereka sampai pada kematian
dengan hati berdarah-darah.

Setiap mereka,
mutiara yatim tiada tara,
tidaklah mereka mati di sisi ayah-ibunya.

Para pencinta terbang menembus lelangit,
para pembangkang terpanggang dalam Api.

Para pencinta terpana menatap yang tak-terlihat,
selain mereka, semua mati dalam buta-tuli.

Sepanjang hidupnya, para pencinta ketakutan,
karenanya mereka berjaga menghidupkan malam; [7]
kini mereka mati tanpa takut atau bahaya.

Mereka yang disini memuja dunia,
hidup bagaikan ternak, [8]
dan akan mati seperti keledai.

Mereka yang hari ini mendamba wajah-Nya,
akan mati berbahagia,
gembira dengan apa yang mereka lihat.

Sang Raja menempatkan mereka
di sisi Rahmat-Nya;
mereka tak mati dengan hina.

Mereka yang meneladan kebajikan Muhammad,
akan mati bagai Abu Bakar atau Umar.

Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh
kematian ataupun kehancuran. [9]

Bahkan kudendangkan ode ini
kepada mereka yang menyangka
jiwa-jiwa mereka telah mati.

Catatan:
[1] QS [7]: 172.

[2] Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar “Singa Allah.”

[3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para pecinta Tuhan, Rasulullah SAW, yang mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi, “… dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi dari Abu Hurairah r.a).

[4] Kematian diri sang pencari dalam cahaya sunnah Al-Mustapha.

[5] Terbitnya Matahari dalam diri.

[6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling cinta dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang menghubungkan silatur-rahim dalam-Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menasehati dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling memberi dalam Kami.

Mereka yang saling cinta didalam Kami dan atas Kami akan disuruh berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan pada nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Qudla’i yang bersumber dari ‘Ubadah bin Shamit r.a)

[7] “… mereka yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS [3]: 17)

[8] “… bagaikan binatang ternak …” (QS [7]: 179)

[9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS [3]: 169)


*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick dalam The Sufi Path of Love, SUNY Press, Albany, 1983.



MEREKA YANG MERENDAHKAN PANDANGANNYA

Ar-RumiMatsnavi V: 3292-99


Pengalaman ruhaniyah itu bagaikan
para bidadari yang merendahkan pandangannya,
mereka tak menampakkan diri kecuali
kepada pemiliknya. [1]

Anggur yang membawa kepada pengalaman itu, [2]
bagaikan para bidadari yang merendahkan pandangannya,
sementara wahana-wahana yang menghijabnya
dari penglihatan bagaikan tenda-tenda [1]

Sungai-besar itu bagaikan tenda, [3]
di dalamnya terdapat kehidupan bagi unggas-air,
dan kematian bagi burung gagak.

Racun itu bagai gula-gula bagi ular
tapi penderitaan dan kematian bagi yang lain.

Bentuk dari setiap keberuntungan dan bencana itu
bagaikan surga bagi seseorang
atau neraka bagi orang lain.

Karena itu, sungguhpun kau tatap
berbagai bentuk dan benda,
dan terdapat hidangan atau racun
di dalam semua ciptaan itu–
kau tidak melihatnya.

Setiap orang itu bagaikan cangkir atau cawan,
di dalamnya terdapat makanan bergizi
dan hal yang membawa terbakarnya hati.

Wadahnya jelas nampak,
hidangan di dalamnya tersembunyi;
hanya mereka yang pernah mencicipi
tahu bagaimana cita-rasanya.

Catatan:
[1] “Huurum-maqshura’tuun fiil-khiyam,” diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan “bidadari jelita, bersih, di dalam tenda.” (QS Ar-Rahmaan [55]: 72)

Mereka yang hanya Allah perlihatkan kepada hamba terkasih-Nya; yang untuk sang hamba itu mereka diciptakan. Para bidadari itu tersembunyi, Allah bentangkan hijab yang melindungi mereka dari penglihatan makhluk lain.

[2] Yang dimaksud disini tentunya bukan anggur fisikal yang dilarang Syariah, melainkan sejenis pengetahuan, kesadaran, pengenalan, yang diberikan seorang Guru Sejati; sedemikian rupa, sehingga seorang penempuh jalan taubat terbantu memasuki situasi lebur-musnah dari dirinya sendiri. Saat seperti itu, raganya menjadi hijab yang menutupi, sehingga kondisi leburnya itu tidak diketahui makhluk lain.

[3] Diri sang penempuh jalan taubat itu bagaikan sebutir air, yang ketika disucikan mulai bergerak mencari jalan kembali. Seiring pensucian dan pelapangan hatinya, dia akan mendapati, di kanan kirinya butir-butir air lain, yang bersatu, membesar, membentuk aliran air, semakin deras mencari jalan kembali. “Sungai” adalah jalan besar untuk kembali ke “Laut”.

Butiran air di dalam Sungai berada dalam habitat yang tepat; unggas-air atau diri sang pencari di dalam kehidupan pertaubatan dengan segala ketetapan dan ukuran-Nya. Gagak, sering Rumi gunakan sebagai simbol pencinta-dunia, yang ketajaman hawa-nafsunya mencungkil dan membutakan “mata Akal Sejatinya,” sehingga tiada sesuatu pun yang nampak baginya, kecuali kepentingan duniawinya.


*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.


MEREKA YANG DISERET KE AL JANNAH

Ar-Rumi: Matsnavi III 4473-4485, 4528-4560


Sang Nabi mendapati serombongan tawanan;
merintih-mengerang ketika mereka dibariskan.

Sang Panglima melihat mereka terikat rantai;
mereka pun memandang kepada beliau,
penuh tanda tanya.

Setiap tawanan menggeratakkan giginya,
menggigit bibirnya, penuh kekesalan
kepada Sang Pemenang.

Sungguhpun penuh kemarahan, mereka tak berani
mengucapkan sepatah kata pun:
mereka diikat rantai yang berat.

Para pengawal membariskan mereka masuk kota:
para tawanan ini adalah kaum kafir.

Mereka saling mengguman satu sama lain:
“Dia tidak akan menerima emas atau tebusan
apa pun, tidak akan ada pangeran yang
akan membebaskan kita.

Dia menyeru dunia agar bersikap pemaaf,
tapi dia akan memotong leher kita semua.”

Dengan aneka perasaan berkecamuk, mereka
digelandang; penuh kecemasan, menunggu
keputusan Sang Pemimpin.

Mereka berkata: “Sungguhpun sebelum ini
kita berhasil lolos dari aneka kesulitan,
kali ini tiada jalan keluar bagi kita:
hati orang ini seteguh karang.

Jumlah kita lebih besar dan pasukan kita
seberani singa, sementara musuh kita
tak lebih dari dua-tiga orang kurus-kering
dan nyaris mati kelaparan,

Bagaimana bisa kita dikalahkan seperti ini:
mestilah ini karena kesalahan kita
di masa lalu, atau bintang kita sedang suram,
atau jangan-jangan karena sihir?

Keberuntungannya menjungkir-balikkan
keberuntungan kita;
disungkurkannya tahta kita.

Jika keperkasaannya karena sihir, kita pun
memakai sihir: mengapa sihir kita tidak berhasil?”

Sungguhpun para pengawal tidak mendengar
kata-kata mereka, tidaklah itu lolos
dari telinga yang mendengar dari
kehadiran-Nya.

Harumnya jiwa Yusuf tak terendus
oleh mereka yang menawannya,
tetapi Ya’qub menciumnya.

Setan-setan yang ingin mencari berita dari
langit tidak mendengar rahasia dari
Catatan yang Terjaga.

Tetapi ketika Muhammad SAW berbaring dan
tertidur, rahasia mereka datang dan
berkumpul bersama beliau.

Bintang cemerlang menjadi penjaga dan
mengusir para setan, sambil berkata:
“Jangan mencuri dan terimalah rahasia
dari Muhammad.”
 [1]

Wahai mereka yang takut kurang rezeki dan
karenanya berdagang sejak fajar,
pergilah ke masjid dan carilah bagianmu
yang Allah sediakan.

Sang Nabi saat itu memahami ucapan mereka,
lalu berkata, “Tertawaku tadi tidak berasal
dari kekejian.

Dalam pandanganku mereka itu sudah mati dan
membusuk: bukanlah tindakan orang yang benar,
membunuh mereka yang sudah mati.

Memangnya siapa mereka?
Telah terbelah Bulan ketika kujejakkan kaki
ke medan perang.

Ketika kalian masih bebas dan kuat, telah
kulihat kalian terbelenggu rantai seperti ini.

Wahai orang-orang yang membanggakan
banyaknya harta dan anak, dalam pandangan
pemilik Akal Sejati, kalian tidak lebih daripada
unta renta.

Sejak piala terjatuh dari atap, [2]
telah jelas bagi mata batinku hakikat
yang dikemas dalam sabda:
‘Semua hal yang sudah ditetapkan
pastilah terjadi.’

Pada buah anggur mentah,
telah jelas kulihat cairan anggur apa
yang akan terbentuk;
kulihat pada sesuatu yang belum mewujud
dan kusaksikan wujudnya dengan jelas.

Kulihat pada kesadaran terdalam,
dan kutatap sebuah semesta tersembunyi,
sementara Adam dan Hawa belumlah lagi
dibangkitkan di semesta yang ini.

Telah kulihat kalian, dirantai,
kalah dan putus-asa, ketika umat manusia berbaris
bagaikan semut pada Hari Perjanjian. [3]

Ketika kemudian diciptakan lelangit tanpa pilar,
tidaklah itu menambah kepada apa
yang telah kuketahui. [4]

Telah kulihat kalian tersungkur, sebelum
jasadku dibentuk dari tanah dan air.

Tak kulihat sesuatu yang baru,
yang karenanya pantas aku bergembira:
telah kulihat hal yang sama selama
kemakmuranmu dahulu.

Terikat kepada rantai Kemurkaan–sungguh
itu Kemurkaan yang Mengerikan–seperti
kalian itu memakan gula yang
mengandung racun.

Apakah kalian akan iri kepada musuh
yang memakan gula beracun?

Dan kalian memakan racun itu dengan senang,
sementara Kematian secara rahasia telah
menggenggam ke dua daun telinga kalian.

Tidaklah aku berperang untuk memperoleh
kemenangan dan menguasai dunia.

Karena dunia ini adalah tulang-bangkai yang
menjijikkan: bagaimana mungkin aku
menginginkan bangkai seperti itu.

Bukanlah aku anjing yang berebut bangkai:
Aku bagaikan Isa yang datang untuk
membangkitkan yang sudah mati.

Kuterjang musuh di medan perang
dengan tujuan untuk membebaskanmu
dari kehancuran.

Tidaklah aku memenggal untuk mendapatkan
kemenangan dan kekuasaan atau untuk
menambah jumlah pengikut.

Jika ada yang dipenggal, itu agar seluruh
umat manusia dapat dibebaskan dari
tenggorokan mereka.

Karena kebodohan, kalian semula melesat
menuju Api, bagaikan serangga.

Sementara sekuat tenaga aku mencegah
kalian terjatuh ke dalam Api.

Yang kalian pandang sebagai kemenangan
sebenarnya adalah kalian menebar
bibit kehancuran diri sendiri.

Kalian saling seru-menyeru dengan
bersemangat untuk memerangiku,
sebenarnya itu bagaikan kalian sedang
memacu kuda-kuda kalian ke arah
seekor naga.

Kalian berusaha mengalahkanku,
sementara sebenarnya dengan tindakan
itu kalian dikalahkan oleh Sang Waktu.”

Catatan:

[1] (QS [67]: 5)
[2] Artinya, “sejak hancurnya ilusi bahwa semesta fisikal ini adalah satu-satunya eksistensi.”
[3] QS [7]: 172
[4] “Dia menciptakan lelangit tanpa pilar …” (QS [31]: 10).

*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.



MERDEKA KETIKA BERSERAH DIRI

Ar-Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1419.


Semula ingin kuceritakan padamu
kisah hidupku, tetapi
gelombang kepedihan tenggelamkan
suaraku.

Kucoba utarakan sesuatu,
tetapi pikiranku rawan dan remuk,
laksana kaca.

Bahkan kapal paling megah bisa karam
dalam gelombang-badai Laut Cinta
apalagi biduk rapuhku,
remuk berkeping-keping:
tinggalkan ku sendiri, hanyut,
hanya berpegangan ke sepotong papan.

Kecil dan tak berdaya
timbul tenggelam dalam terpaan ombak,
sampai tak kuketahui apakah aku ada
atau tiada.

Ketika menurutku aku ada,
kudapati diriku tak berharga.

Saat ku tiada,
kudapati nilai-nilai sejati diriku.

Seturut pasang-surut akalku,
tiap hari mati aku, dan dihidupkan lagi;
karenanya tak kuragukan sedikit pun
adanya Hari Kebangkitan.

Ketika telah lelah,
ku berburu cinta di alam dunia ini,
akhirnya di Lembah Cinta ku berserah-diri:
dan aku merdeka.


*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Azima Melita Kolin dan Maryam Mafi, dalam Rumi: Hidden Music, HarperCollins Publishers Ltd, 2001.


MENYERAHKAN HIDUPMU

Ar-Rumi, Matsnavi III: 2895-2897


Sungguh pantas orang yang murah hati
bersedekah, tetapi
kemurahan hati sang pencinta itu dengan
menyerahkan jiwanya.

Jika engkau berikan sepotong roti,
atas nama Rabb,
engkau akan diganjar
dengan melimpahnya roti.

Jika engkau serahkan hidupmu
bagi Rabb,
kepadamu akan diberikan Hidup Sejati.


*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.


MENGKAJI MUKHLIS DAN MUKHLAS

Ar-Rumi: Matsnavi II 1294-1319.


Persepsi inderawi menarik seseorang ke arah dunia,
Cahaya-Nya melambungkan dia ke langit.

Karena benda-benda terinderai itu
letaknya di alam bawah.

Cahaya Tuhan itu bagaikan laut,
sedangkan yang kita inderai itu bagai setitik uapnya.

Apa yang mengendarai indera tidaklah nampak,
yang kita tangkap hanyalah akibat dan kata-kata.

Cahaya inderawi, yang kasar dan berat,
tersembunyi pada hitamnya mata.

Penglihatanmu tak dapat menangkap cahaya inderawi,
bagaimana mungkin ia dapat melihat cahaya kewalian?

Cahaya inderawi yang kasar saja sudah tersembunyi,
apalagi apa yang ada dibaliknya,
yang lebih murni dan halus?

Alam-dunia ini bagaikan jerami,
dalam genggaman angin–yakni alam tak-nampak;
ia hanya dapat menyerahkan diri,
tunduk sepenuhnya pada alam yang tak-nampak.

Kadang ia dibuat merunduk,
kadang menengadah;
kadang bersuara,
kadang utuh, kadang terpecah.

Kadang ia digerakkan ke kiri,
kadang ke kanan;
kadang darinya tumbuh duri,
kadang menyembul mawar.

Perhatikanlah, dibalik pena yang menulis,
tersembunyi Tangan;
di atas kuda yang berderap,
ada Pengendara tak-nampak.

Jika anak-panah melayang,
mestilah ada Busurnya,
walau tak-nampak;
jika tampak diri-diri kita,
mestilah ada Diri yang tersembunyi.

Jangan patahkan anak-panah,
karena ia berasal dari Sang Raja;
tidaklah ia dilepaskan tanpa suatu maksud,
ia berasal dari genggaman jemari Sang Tunggal,
yang paling mengenal sasaran.

Dia bersabda, “… dan bukanlah engkau yang
melempar, ketika engkau melempar ..”: 
[1]
tindakan-Nya mendahului
tindakan-tindakan kita.

Patahkanlah kemarahanmu,
bukannya anak-panah itu:
tatapanmu yang penuh amarah
menganggap susu sebagai darah.

Ciumlah anak-panah itu,
dan persembahkan kepada Sang Raja;
anak-panah berpercik darah,
darahmu sendiri.

Apa yang tampil di alam nampak,
tak-berdaya, terpenjara dan rapuh;
apa yang tak-nampak
begitu perkasa dan agung.

Kita lah hewan buruan,
yang ditunggu jebakan sangat menakutkan;
kita bagai bola dalam permainan polo,
menunggu pukulan tongkat,
dan dimanakah Sang Pemukul?

Dia menyobek,
Dia pula yang merajut:
dimanakah Sang Penjahit?
Dia meruntuhkan,
Dia yang membakar,
dimanakah Sang Pemadam api?

Dalam sekejap Dia dapat mengubah
seorang suci menjadi kufur;
sekejap pula Dia dapat mengubah
penyembah berhala menjadi seorang zahid.

Seorang mukhlish setiap saat dalam bahaya
terjatuh kedalam jebakan,
sampai dirinya sepenuhnya termurnikan.

Karena dia masih berjalan,
dan penyamun tak terhingga jumlahnya;
yang berhasil selamat hanya
mereka yang dijaga-Nya.

Jika belum mati seseorang
dari dirinya sendiri–bagaikan cermin kemilau,
dia tak-lebih dari seorang yang mukhlish:
jika dia belum berhasil menangkap burung,
maka dia masih berburu.

Tapi ketika seorang mukhlish
diubah menjadi mukhlash, [2]
maka dia telah sampai:
dia menang dan selamat.

Cermin tak berubah kembali menjadi besi,
roti tak berubah lagi menjadi biji gandum.

Cairan anggur tak berubah lagi jadi buah;
buah matang tak kembali jadi mentah lagi.

Matanglah,
dan menjauhlah dari kemungkinan berubah
jadi kembali buruk:
jadilah Cahaya,
bagai Burhan-i Muhaqqiq. [3]

Catatan:

[1] QS Al Anfaal [8]: 17.
[2] “(Iblis) berkata: ‘Maka bersama dengan ke-Kuasaan Engkau, akan kusesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang al-Mukhlashiin.” (QS Shaad [38]: 82-83).
[3] Penerjemah belum berhasil mengindentifikasi siapa gerangan tokoh yang Rumi gelari dengan ‘Burhan-i Muhaqqiq’ ini.

*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.



Mengkaji Cahaya di atas Cahaya

 Ar-Rumi: Matsnavi II: 1248-1293


Sang Mustapha bertutur tentang permohonan Neraka,
ketika dengan berendah-hati dia bermohon
kepada pemilik iman sejati:
“berlalulah dengan cepat, wahai Sang Raja,
karena cahayamu telah memadamkan apiku.”

Jadi, terang cahaya al-Mukmin berarti padamnya api,
karena tanpa tanpa tampilnya yang berlawanan
tak mungkin sesuatu sirna.

Pada Hari Perhitungan,
api akan menjadi lawan cahaya,
karena api bersumber dari Murka-Nya,
sementara cahaya dari Rahmat-Nya.

Jika engkau ingin tanggalkan api kejahatan,
tujukan air Rahmat Ilahiah ke jantung api.

Mereka yang bertakwa dengan haqq
memancarkan aliran air rahmat itu:
inti jiwa mereka yang bertakwa
adalah Air Kehidupan.

Tidak heran engkau yang berjiwa duniawi
lari menjauh dari orang seperti mereka,
karena engkau tersusun dari api,
sementara mereka dari aliran air.

Api melarikan diri dari air,
karena takut nyala dan asapnya
dipadamkan oleh air.

Pikiran dan perasaanmu terbentuk dari api;
pikiran dan perasaan orang suci
tersusun dari cahaya yang indah.

Ketika percikan cahaya orang suci menetes
di atas api, terdengar suara berdesis,
dan lidah api menjilat dengan murka.

Ketika datang saat seperti itu,
katakanlah, œmati dan musnahlah engkau,
agar padam neraka itu,
yaitu api hawa-nafsumu.

Sehingga ia tak membakar taman mawarmu,
sehingga ia tak membakar keadilan
dan hasanah-mu.

Setelah berhasil engkau padamkan,
barulah bibit yang engkau tanam
dapat menghasilkan aneka buah,
atau memekarkan bermacam bunga.

Wahai Guru tuturmu melantur,
mengapa kau tak kembali ke
pokok perbincangan?

Kita sedang memperlihatkan melanturnya
dirimu, wahai pemendam iri-dengki;
tak kau sadari, keledaimu pincang,
sedangkan kota cahaya sangatlah jauh,
alangkah lambat jalanmu. 

Telah sekian tahun kita habiskan;
sudah hampir lewat masa tanam;
tak ada hasil panenmu,
kecuali wajahmu yang menghitam,
dan amalmu yang berbau busuk.

Cacing telah bersarang,
di akar pohon dirimu:
galilah dan bakarlah.

Kuperingatkan lagi, wahai pencari,
waktu telah hampir habis,
hari telah senja,
matahari jelang tenggelam.

Hanya tersisa satu dua hari lagi,
ketika masih tersisa kekuatan pada dirimu,
kepakkan sayapmu dengan bersemangat.

Manfaatkanlah baik-baik sisa benihmu,
agar dari bibit-waktu yang sedikit itu
dapat tumbuh pohon abadi.

Sementara lampu hidupmu belum padam,
kecilkanlah sumbunya,
dan jagalah minyaknya.

Jangan lagi engkau berkata, besok, besok;
sudah terlalu banyak besokmu yang terlewat.
Jangan sampai tiada hari tanam tersisa.

Dengarkanlah nasehatku,
jasmanimu itu yang mengikatmu,
tanggalkan jasmanimu rentamu,
jika kau inginkan pembaruan.

Tutup mulutmu,
dan bukalah buah berisikan emas:
tanggalkan keakuanmu,
perlihatkan kemurahanmu.

Kemurahan berarti meninggalkan syahwat
dan hawa-nafsu; orang yang tenggelam
dalam hawa-nafsunya,
sulit mentas lagi.

Kemurahan adalah salah satu cabang
cemara di al-Jannah:
malang lah orang yang tak berpegangan
pada cabang semacam itu.

Menanggalkan hasratmu
adalah pegangan yang paling kuat:
cabang itu menarik jiwamu ke Langit.

Karena itu jadilah pemurah,
wahai penganut ad-Diin,
sehingga terangkat engkau
ke sumber cabang itu.

Jadikan Yusuf yang cantik
sebagai teladan keindahan jiwamu,
perlakukan alam-dunia ini sebagai sumur,
gunakan kemurahan
dan keberserahan kepada karsa Rabb
sebagai tali untuk mentas ke atas.

Wahai peneladan keindahan Yusuf,
tali telah diturunkan,
raihlah dengan ke dua belah tanganmu;
jangan kau lepaskan,
karena hari telah larut.

Berpujilah kepada-Nya
ketika tali telah terjulur;
itu dari semesta yang sangat nyata,
tapi tak nampak.

Semesta fenomenal ini,
sebenarnya hanya wujud yang mungkin,
tapi telah menjadi sangat nyata bagimu,
sementara semesta yang sejati,
semakin tersembunyi.

Seperti debu bertaburan dipermainkan angin,
bagaikan fatamorgana yang menghijab.

Yang tampak ramai ini
sejatinya hampa dan dangkal,
bagai bebauan;
yang tersembunyi itulah inti
dan sumbernya.

Debu hanya tanda
dari adanya angin:
angin itulah yang bernilai,
dan tinggi derajatnya.

Mata yang tersusun dari tanah-liat,
hanya akan menatap debu;
untuk melihat angin itu
diperlukan penglihatan yang berbeda.

Seekor kuda mengenal kuda yang lain,
karena mereka sejenis:
hanya penunggang kuda dapat mengenali
sesama penunggang.

Yang dimaksud dengan kuda itu
adalah mata syahwatiah,
sedangkah sang penunggang
adalah Cahaya Ilahiah;
tanpa sang penunggang,
kuda itu sendiri tak berguna.

Karena itu latihlah kudamu,
agar dia sembuh dari kebiasaan buruknya;
jika tidak, dia akan tertolak
dari majelis Sang Raja.

Penglihatan si kuda mendapati jalan,
bersumberkan pandangan Sang Raja;
tanpa pandangan Sang Raja
penglihatan si kuda kehilangan panduan.

Penglihatan si kuda akan selalu menolak panduan,
kecuali ke arah makanan dan padang rumput.

Cahaya Ilahiah itu
yang seyogyanya jadi penentu arah
bagi penglihatan si kuda,
barulah jiwa dapat merindu Rabb.

Tidaklah mungkin kuda tanpa pengendara
dapat membaca tanda-tanda jalan.
Hanya penunggang bermartabat Raja
dapat mengenali jalan Sang Raja.

Tempuhlah arah selaras dengan rasa-jati
yang dikendarai oleh Cahaya,
Cahaya itu pengendara terpercaya.
Cahaya Ilahiah mengendarai cahaya rasa-jati,
ini salah satu makna dari Cahaya di atas cahaya.


*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson




Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url