Jika bukan karena perkasanya ke'aku'anmu sendiri yang telah
menyergapmu dari dalam, takkan penghadang dari luar diri mampu
mencelakaimu.
Karena tuntutan syahwatmu, hatimu telah tersandera oleh
kerakusan, cinta dunia dan niat buruk.
Sekian lama terpenjara di dalam dirimu sendiri, engkau berubah
menjadi pencuri rakus, yang semakin lemah di hadapan kuasanya.
Simaklah nasehat Sang Nabi nan bijak bestari: “Musuh terbesarmu berada di antara ke dua sisimu.”
_______________
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
MUSUHKU DIRIKU SENDIRI
Ar-Rumi:Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1523.
Bukanlah aku seperti seekor singa perkasa, mampu tundukkan
musuh-musuhku.
Jika 'ku dapat tundukkan diriku sendiri, cukuplah itu bagiku.
Sungguhpun aku, serendah-hitam tanah, karena yang kurawat adalah
sebutir bibit bernama Cinta, kan kutumbuh-kembangkan bunga
lily putih di padang rumput.
Ketika aku dalam gelap gulita merintihkan perpisahan, selalu 'ku
yakin aku akan menembus, menebarkan cahaya, di tengah
gelapnya malam.
Ada api bernyala dalam diriku, walau ragaku pucat dan lusuh.
Karena aku akan membubung naik, bagai asap, keluar menembus
penjaraku.
Aku seorang anak kecil, guruku adalah Cinta, tentu guruku takkan
biarkan aku tumbuh jadi seorang bodoh.
_______________
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nader Khalili, dalam
Rumi: Fountain of Fire, Burning Gate Press, 1994.
MI'RAJ KE DALAM PERUT PAUS
Ar-Rumi:Matsnavi III: 4511-4516, 4519
Ketika Sang Kekasih menjadi sahabat, tempat manapun menjadi “bagaikan
di langit;” dan bukan “terbenam ke bumi.”
Sang Nabi saw, berkata, “Jangan menyangka mi’raj-ku lebih
unggul daripada apa yang terjadi pada Yunus; [1] aku diangkat ke
langit; dia ditenggelamkan ke dalam perut paus; [2] kedekatan
pada al-Haqq itu di luar perhitungan.”
Kedekatan itu bukan soal naik atau turun: kedekatan
pada al-Haqq itu artinya kemerdekaan dari penjara
keberadaan.
Tiada tempat bagi gerak “ke atas” atau “ke bawah” dalam ketiadaan.
Ketiadaan tak mengenal “nanti,” “jauh,” atau “terlambat.”
Sumber ilmu dan khazanah al-Haqq berada di ketiadaan. Karena
keberadaan ini saja telah menipumu, bagaimana mungkin kau pahami apa
itu ketiadaan? [3]
Kekurangan adalah bagian dunia yang telah ditentukan bagi sang Nabi
saw, kefakiran dan kerendahan adalah kebanggaan dan
kemuliaannya.
Catatan: [1] Nabi Allah Yunus as, dimuliakan dalam Al Qur’an,
menjadi nama surat ke 10.
[2] Mawlana Rumi menerangkan bahwa saat pencapaian ruhaniyyah tertinggi
nabi Yunus as, terjadi ketika jasadnya ditenggelamkan, lalu untuk beberapa
saat dimasukkan kedalam perut seekor paus. Lihat antara lain, QS [21]: 87
dan (QS [37]: 143)
[3] “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak; seperti hujan
yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu.” (QS. Al Hadiid [57]: 20)
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
MEREKA YANG TELAH MATI
Ar-Rumi:Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 972
Para pencinta, yang dengan ikhlas mati dari diri mereka
sendiri: mereka bagaikan gula, di hadapan Sang Kekasih.
Pada Hari Perjanjian [1] mereka minum Air Kehidupan, sehingga
matinya jiwa mereka tak seperti kematian orang lain.
Karena mereka telah dibangkitkan dalam Cinta, kematian mereka tak
seperti orang kebanyakan.
Dengan kelembutan-Nya, mereka telah melampaui tingkat para
malaikat; sama sekali tak bisa kematian mereka dibandingkan
dengan orang kebanyakan.
Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing, jauh dari hadirat-Nya? [2]
Ketika para pencinta mati di tengah Jalan, Sang Raja Ruhaniah berlari
menyambut. [3]
Ketika mereka mati di kaki Sang Rembulan, [4] mereka menyala bagaikan
Matahari. [5]
Jiwa para pencinta sejati itu bersatu mereka mati dalam saling
mencintai. [6]
Derai embun Cinta membasuh jantung mereka, mereka sampai pada
kematian dengan hati berdarah-darah.
Setiap mereka, mutiara yatim tiada tara, tidaklah mereka mati di
sisi ayah-ibunya.
Para pencinta terbang menembus lelangit, para pembangkang terpanggang
dalam Api.
Para pencinta terpana menatap yang tak-terlihat, selain mereka, semua
mati dalam buta-tuli.
Sepanjang hidupnya, para pencinta ketakutan, karenanya mereka berjaga
menghidupkan malam; [7] kini mereka mati tanpa takut atau bahaya.
Mereka yang disini memuja dunia, hidup bagaikan ternak, [8] dan
akan mati seperti keledai.
Mereka yang hari ini mendamba wajah-Nya, akan mati berbahagia, gembira
dengan apa yang mereka lihat.
Sang Raja menempatkan mereka di sisi Rahmat-Nya; mereka tak mati
dengan hina.
Mereka yang meneladan kebajikan Muhammad, akan mati bagai Abu Bakar
atau Umar.
Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh kematian ataupun
kehancuran. [9]
Bahkan kudendangkan ode ini kepada mereka yang menyangka jiwa-jiwa
mereka telah mati.
Catatan: [1] QS [7]: 172.
[2] Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar
“Singa Allah.”
[3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para pecinta Tuhan, Rasulullah SAW,
yang mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi, “… dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka Aku mendatanginya
dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi dari Abu Hurairah r.a).
[4] Kematian diri sang pencari dalam cahaya sunnah Al-Mustapha.
[5] Terbitnya Matahari dalam diri.
[6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling cinta dalam Kami. Berhak akan
Cinta-Ku orang-orang yang menghubungkan silatur-rahim dalam-Kami. Berhak
akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menasehati dalam Kami. Berhak akan
Cinta-Ku orang-orang yang saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan
Cinta-Ku orang-orang yang saling memberi dalam Kami.
Mereka yang saling cinta didalam Kami dan atas Kami akan disuruh
berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan pada nabi, shiddiqin dan
syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Qudla’i yang bersumber
dari ‘Ubadah bin Shamit r.a)
[7] “… mereka yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS
[3]: 17)
[8] “… bagaikan binatang ternak …” (QS [7]: 179)
[9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat
rezeki.” (QS [3]: 169)
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick dalam The Sufi Path of Love, SUNY Press, Albany,
1983.
MEREKA YANG MERENDAHKAN PANDANGANNYA
Ar-Rumi: Matsnavi V: 3292-99
Pengalaman ruhaniyah itu bagaikan para bidadari yang merendahkan pandangannya, mereka tak menampakkan diri kecuali kepada pemiliknya. [1]
Anggur yang membawa kepada pengalaman itu, [2] bagaikan para bidadari yang merendahkan pandangannya, sementara wahana-wahana yang menghijabnya dari penglihatan
bagaikan tenda-tenda [1]
Sungai-besar itu bagaikan tenda, [3] di dalamnya terdapat kehidupan
bagi unggas-air, dan kematian bagi burung gagak.
Racun itu bagai gula-gula bagi ular tapi penderitaan dan kematian
bagi yang lain.
Bentuk dari setiap keberuntungan dan bencana itu bagaikan surga bagi
seseorang atau neraka bagi orang lain.
Karena itu, sungguhpun kau tatap berbagai bentuk dan benda, dan
terdapat hidangan atau racun di dalam semua ciptaan itu– kau
tidak melihatnya.
Setiap orang itu bagaikan cangkir atau cawan, di dalamnya terdapat
makanan bergizi dan hal yang membawa terbakarnya hati.
Wadahnya jelas nampak, hidangan di dalamnya tersembunyi; hanya
mereka yang pernah mencicipi tahu bagaimana cita-rasanya.
Catatan: [1] “Huurum-maqshura’tuun fiil-khiyam,” diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan “bidadari jelita, bersih, di dalam tenda.” (QS Ar-Rahmaan [55]: 72)
Mereka yang hanya Allah perlihatkan kepada hamba terkasih-Nya; yang untuk
sang hamba itu mereka diciptakan. Para bidadari itu tersembunyi, Allah
bentangkan hijab yang melindungi mereka dari penglihatan makhluk lain.
[2] Yang dimaksud disini tentunya bukan anggur fisikal
yang dilarang Syariah, melainkan sejenis pengetahuan, kesadaran,
pengenalan, yang diberikan seorang Guru Sejati; sedemikian rupa, sehingga
seorang penempuh jalan taubat terbantu memasuki situasi lebur-musnah dari
dirinya sendiri. Saat seperti itu, raganya menjadi hijab yang menutupi,
sehingga kondisi leburnya itu tidak diketahui makhluk lain.
[3] Diri sang penempuh jalan taubat itu bagaikan sebutir air, yang ketika
disucikan mulai bergerak mencari jalan kembali. Seiring pensucian dan
pelapangan hatinya, dia akan mendapati, di kanan kirinya butir-butir air
lain, yang bersatu, membesar, membentuk aliran air, semakin deras mencari
jalan kembali. “Sungai” adalah jalan besar untuk kembali ke “Laut”.
Butiran air di dalam Sungai berada dalam habitat yang
tepat; unggas-air atau diri sang pencari di dalam
kehidupan pertaubatan dengan segala ketetapan dan
ukuran-Nya. Gagak, sering Rumi gunakan sebagai simbol
pencinta-dunia, yang ketajaman hawa-nafsunya mencungkil dan membutakan
“mata Akal Sejatinya,” sehingga tiada sesuatu pun yang nampak baginya,
kecuali kepentingan duniawinya.
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
MEREKA YANG DISERET KE AL JANNAH
Ar-Rumi:Matsnavi III 4473-4485, 4528-4560
Sang Nabi mendapati serombongan tawanan; merintih-mengerang ketika
mereka dibariskan.
Sang Panglima melihat mereka terikat rantai; mereka pun memandang
kepada beliau, penuh tanda tanya.
Setiap tawanan menggeratakkan giginya, menggigit bibirnya, penuh
kekesalan kepada Sang Pemenang.
Sungguhpun penuh kemarahan, mereka tak berani mengucapkan sepatah
kata pun: mereka diikat rantai yang berat.
Para pengawal membariskan mereka masuk kota: para tawanan ini adalah
kaum kafir.
Mereka saling mengguman satu sama lain: “Dia tidak akan menerima emas
atau tebusan apa pun, tidak akan ada pangeran yang akan
membebaskan kita.
Dia menyeru dunia agar bersikap pemaaf, tapi dia akan memotong leher
kita semua.”
Dengan aneka perasaan berkecamuk, mereka digelandang; penuh
kecemasan, menunggu keputusan Sang Pemimpin.
Mereka berkata: “Sungguhpun sebelum ini kita berhasil lolos dari
aneka kesulitan, kali ini tiada jalan keluar bagi kita: hati
orang ini seteguh karang.
Jumlah kita lebih besar dan pasukan kita seberani singa, sementara
musuh kita tak lebih dari dua-tiga orang kurus-kering dan nyaris
mati kelaparan,
Bagaimana bisa kita dikalahkan seperti ini: mestilah ini karena
kesalahan kita di masa lalu, atau bintang kita sedang suram, atau
jangan-jangan karena sihir?
Keberuntungannya menjungkir-balikkan keberuntungan kita; disungkurkannya
tahta kita.
Jika keperkasaannya karena sihir, kita pun memakai sihir: mengapa
sihir kita tidak berhasil?”
Sungguhpun para pengawal tidak mendengar kata-kata mereka, tidaklah
itu lolos dari telinga yang mendengar dari kehadiran-Nya.
Harumnya jiwa Yusuf tak terendus oleh mereka yang menawannya, tetapi
Ya’qub menciumnya.
Setan-setan yang ingin mencari berita dari langit tidak mendengar
rahasia dari Catatan yang Terjaga.
Tetapi ketika Muhammad SAW berbaring dan tertidur, rahasia mereka
datang dan berkumpul bersama beliau.
Bintang cemerlang menjadi penjaga dan mengusir para setan, sambil
berkata: “Jangan mencuri dan terimalah rahasia dari Muhammad.” [1]
Wahai mereka yang takut kurang rezeki dan karenanya berdagang sejak
fajar, pergilah ke masjid dan carilah bagianmu yang Allah
sediakan.
Sang Nabi saat itu memahami ucapan mereka, lalu berkata, “Tertawaku
tadi tidak berasal dari kekejian.
Dalam pandanganku mereka itu sudah mati dan membusuk: bukanlah
tindakan orang yang benar, membunuh mereka yang sudah mati.
Memangnya siapa mereka? Telah terbelah Bulan ketika kujejakkan
kaki ke medan perang.
Ketika kalian masih bebas dan kuat, telah kulihat kalian terbelenggu
rantai seperti ini.
Wahai orang-orang yang membanggakan banyaknya harta dan anak, dalam
pandangan pemilik Akal Sejati, kalian tidak lebih daripada unta
renta.
Sejak piala terjatuh dari atap, [2] telah jelas bagi mata batinku
hakikat yang dikemas dalam sabda: ‘Semua hal yang sudah ditetapkan pastilah terjadi.’
Pada buah anggur mentah, telah jelas kulihat cairan anggur apa yang
akan terbentuk; kulihat pada sesuatu yang belum mewujud dan
kusaksikan wujudnya dengan jelas.
Kulihat pada kesadaran terdalam, dan kutatap sebuah semesta
tersembunyi, sementara Adam dan Hawa belumlah lagi dibangkitkan
di semesta yang ini.
Telah kulihat kalian, dirantai, kalah dan putus-asa, ketika umat
manusia berbaris bagaikan semut pada Hari Perjanjian. [3]
Ketika kemudian diciptakan lelangit tanpa pilar, tidaklah itu
menambah kepada apa yang telah kuketahui. [4]
Telah kulihat kalian tersungkur, sebelum jasadku dibentuk dari tanah
dan air.
Tak kulihat sesuatu yang baru, yang karenanya pantas aku
bergembira: telah kulihat hal yang sama selama kemakmuranmu
dahulu.
Terikat kepada rantai Kemurkaan–sungguh itu Kemurkaan yang
Mengerikan–seperti kalian itu memakan gula yang mengandung
racun.
Apakah kalian akan iri kepada musuh yang memakan gula beracun?
Dan kalian memakan racun itu dengan senang, sementara Kematian secara
rahasia telah menggenggam ke dua daun telinga kalian.
Tidaklah aku berperang untuk memperoleh kemenangan dan menguasai
dunia.
Karena dunia ini adalah tulang-bangkai yang menjijikkan: bagaimana
mungkin aku menginginkan bangkai seperti itu.
Bukanlah aku anjing yang berebut bangkai: Aku bagaikan Isa yang
datang untuk membangkitkan yang sudah mati.
Kuterjang musuh di medan perang dengan tujuan untuk membebaskanmu dari
kehancuran.
Tidaklah aku memenggal untuk mendapatkan kemenangan dan kekuasaan
atau untuk menambah jumlah pengikut.
Jika ada yang dipenggal, itu agar seluruh umat manusia dapat
dibebaskan dari tenggorokan mereka.
Karena kebodohan, kalian semula melesat menuju Api, bagaikan
serangga.
Sementara sekuat tenaga aku mencegah kalian terjatuh ke dalam Api.
Yang kalian pandang sebagai kemenangan sebenarnya adalah kalian
menebar bibit kehancuran diri sendiri.
Kalian saling seru-menyeru dengan bersemangat untuk memerangiku, sebenarnya
itu bagaikan kalian sedang memacu kuda-kuda kalian ke arah seekor
naga.
Kalian berusaha mengalahkanku, sementara sebenarnya dengan
tindakan itu kalian dikalahkan oleh Sang Waktu.”
Catatan:
[1] (QS [67]: 5)
[2] Artinya, “sejak hancurnya ilusi bahwa semesta fisikal ini adalah
satu-satunya eksistensi.”
[3] QS [7]: 172
[4] “Dia menciptakan lelangit tanpa pilar …” (QS [31]:
10).
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
MERDEKA KETIKA BERSERAH DIRI
Ar-Rumi:Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1419.
Semula ingin kuceritakan padamu kisah hidupku, tetapi gelombang
kepedihan tenggelamkan suaraku.
Kucoba utarakan sesuatu, tetapi pikiranku rawan dan remuk, laksana
kaca.
Bahkan kapal paling megah bisa karam dalam gelombang-badai Laut
Cinta apalagi biduk rapuhku, remuk berkeping-keping: tinggalkan
ku sendiri, hanyut, hanya berpegangan ke sepotong papan.
Kecil dan tak berdaya timbul tenggelam dalam terpaan ombak, sampai
tak kuketahui apakah aku ada atau tiada.
Ketika menurutku aku ada, kudapati diriku tak berharga.
Saat ku tiada, kudapati nilai-nilai sejati diriku.
Seturut pasang-surut akalku, tiap hari mati aku, dan dihidupkan
lagi; karenanya tak kuragukan sedikit pun adanya Hari
Kebangkitan.
Ketika telah lelah, ku berburu cinta di alam dunia ini, akhirnya
di Lembah Cinta ku berserah-diri: dan aku merdeka.
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Azima Melita Kolin dan Maryam
Mafi, dalam Rumi: Hidden Music, HarperCollins Publishers
Ltd, 2001.
MENYERAHKAN HIDUPMU
Ar-Rumi,Matsnavi III: 2895-2897
Sungguh pantas orang yang murah hati bersedekah, tetapi kemurahan
hati sang pencinta itu dengan menyerahkan jiwanya.
Jika engkau berikan sepotong roti, atas nama Rabb, engkau akan diganjar dengan melimpahnya roti.
Jika engkau serahkan hidupmu bagi Rabb, kepadamu
akan diberikan Hidup Sejati.
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
MENGKAJI MUKHLIS DAN MUKHLAS
Ar-Rumi:Matsnavi II 1294-1319.
Persepsi inderawi menarik seseorang ke arah dunia, Cahaya-Nya
melambungkan dia ke langit.
Karena benda-benda terinderai itu letaknya di alam bawah.
Cahaya Tuhan itu bagaikan laut, sedangkan yang kita inderai itu bagai
setitik uapnya.
Apa yang mengendarai indera tidaklah nampak, yang kita tangkap
hanyalah akibat dan kata-kata.
Cahaya inderawi, yang kasar dan berat, tersembunyi pada hitamnya
mata.
Penglihatanmu tak dapat menangkap cahaya inderawi, bagaimana mungkin
ia dapat melihat cahaya kewalian?
Cahaya inderawi yang kasar saja sudah tersembunyi, apalagi apa yang
ada dibaliknya, yang lebih murni dan halus?
Alam-dunia ini bagaikan jerami, dalam genggaman angin–yakni alam
tak-nampak; ia hanya dapat menyerahkan diri, tunduk sepenuhnya
pada alam yang tak-nampak.
Kadang ia dibuat merunduk, kadang menengadah; kadang
bersuara, kadang utuh, kadang terpecah.
Kadang ia digerakkan ke kiri, kadang ke kanan; kadang darinya
tumbuh duri, kadang menyembul mawar.
Perhatikanlah, dibalik pena yang menulis, tersembunyi Tangan; di
atas kuda yang berderap, ada Pengendara tak-nampak.
Jika anak-panah melayang, mestilah ada Busurnya, walau
tak-nampak; jika tampak diri-diri kita, mestilah ada Diri yang
tersembunyi.
Jangan patahkan anak-panah, karena ia berasal dari Sang Raja; tidaklah
ia dilepaskan tanpa suatu maksud, ia berasal dari genggaman jemari
Sang Tunggal, yang paling mengenal sasaran.
Dia bersabda, “… dan bukanlah engkau yang melempar, ketika engkau melempar
..”: [1] tindakan-Nya mendahului tindakan-tindakan kita.
Patahkanlah kemarahanmu, bukannya anak-panah itu: tatapanmu yang
penuh amarah menganggap susu sebagai darah.
Ciumlah anak-panah itu, dan persembahkan kepada Sang Raja; anak-panah
berpercik darah, darahmu sendiri.
Apa yang tampil di alam nampak, tak-berdaya, terpenjara dan rapuh; apa
yang tak-nampak begitu perkasa dan agung.
Kita lah hewan buruan, yang ditunggu jebakan sangat menakutkan; kita
bagai bola dalam permainan polo, menunggu pukulan tongkat, dan
dimanakah Sang Pemukul?
Dia menyobek, Dia pula yang merajut: dimanakah Sang Penjahit? Dia
meruntuhkan, Dia yang membakar, dimanakah Sang Pemadam api?
Dalam sekejap Dia dapat mengubah seorang suci menjadi kufur; sekejap
pula Dia dapat mengubah penyembah berhala menjadi seorang zahid.
Seorang mukhlish setiap saat dalam bahaya terjatuh
kedalam jebakan, sampai dirinya sepenuhnya termurnikan.
Karena dia masih berjalan, dan penyamun tak terhingga jumlahnya; yang
berhasil selamat hanya mereka yang dijaga-Nya.
Jika belum mati seseorang dari dirinya sendiri–bagaikan cermin
kemilau, dia tak-lebih dari seorang yang mukhlish: jika dia belum berhasil menangkap burung, maka dia masih
berburu.
Tapi ketika seorang mukhlish diubah
menjadi mukhlash, [2] maka dia telah sampai: dia
menang dan selamat.
Cermin tak berubah kembali menjadi besi, roti tak berubah lagi
menjadi biji gandum.
Cairan anggur tak berubah lagi jadi buah; buah matang tak kembali
jadi mentah lagi.
Matanglah, dan menjauhlah dari kemungkinan berubah jadi kembali
buruk: jadilah Cahaya, bagai Burhan-i Muhaqqiq.[3]
Catatan:
[1] QS Al Anfaal [8]: 17.
[2] “(Iblis) berkata: ‘Maka bersama dengan ke-Kuasaan Engkau, akan
kusesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang
al-Mukhlashiin.” (QS Shaad [38]: 82-83).
[3] Penerjemah belum berhasil mengindentifikasi siapa gerangan tokoh yang
Rumi gelari dengan ‘Burhan-i Muhaqqiq’ ini.
*Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Mengkaji Cahaya di atas Cahaya
Ar-Rumi: Matsnavi II: 1248-1293
Sang Mustapha bertutur tentang permohonan Neraka, ketika dengan
berendah-hati dia bermohon kepada pemilik iman sejati: “berlalulah
dengan cepat, wahai Sang Raja, karena cahayamu telah memadamkan
apiku.”
Jadi, terang cahaya al-Mukmin berarti padamnya api, karena tanpa
tanpa tampilnya yang berlawanan tak mungkin sesuatu sirna.
Pada Hari Perhitungan, api akan menjadi lawan cahaya, karena api
bersumber dari Murka-Nya, sementara cahaya dari Rahmat-Nya.
Jika engkau ingin tanggalkan api kejahatan, tujukan air Rahmat
Ilahiah ke jantung api.
Mereka yang bertakwa dengan haqq memancarkan aliran air rahmat
itu: inti jiwa mereka yang bertakwa adalah Air Kehidupan.
Tidak heran engkau yang berjiwa duniawi lari menjauh dari orang
seperti mereka, karena engkau tersusun dari api, sementara
mereka dari aliran air.
Api melarikan diri dari air, karena takut nyala dan asapnya dipadamkan
oleh air.
Pikiran dan perasaanmu terbentuk dari api; pikiran dan perasaan orang
suci tersusun dari cahaya yang indah.
Ketika percikan cahaya orang suci menetes di atas api, terdengar
suara berdesis, dan lidah api menjilat dengan murka.
Ketika datang saat seperti itu, katakanlah, œmati dan musnahlah
engkau, agar padam neraka itu, yaitu api hawa-nafsumu.
Sehingga ia tak membakar taman mawarmu, sehingga ia tak membakar
keadilan dan hasanah-mu.
Setelah berhasil engkau padamkan, barulah bibit yang engkau tanam dapat
menghasilkan aneka buah, atau memekarkan bermacam bunga.
Wahai Guru tuturmu melantur, mengapa kau tak kembali ke pokok
perbincangan?
Kita sedang memperlihatkan melanturnya dirimu, wahai pemendam
iri-dengki; tak kau sadari, keledaimu pincang, sedangkan kota
cahaya sangatlah jauh, alangkah lambat jalanmu.
Telah sekian tahun kita habiskan; sudah hampir lewat masa tanam; tak
ada hasil panenmu, kecuali wajahmu yang menghitam, dan amalmu
yang berbau busuk.
Cacing telah bersarang, di akar pohon dirimu: galilah dan
bakarlah.
Kuperingatkan lagi, wahai pencari, waktu telah hampir habis, hari
telah senja, matahari jelang tenggelam.
Hanya tersisa satu dua hari lagi, ketika masih tersisa kekuatan pada
dirimu, kepakkan sayapmu dengan bersemangat.
Manfaatkanlah baik-baik sisa benihmu, agar dari bibit-waktu yang
sedikit itu dapat tumbuh pohon abadi.
Sementara lampu hidupmu belum padam, kecilkanlah sumbunya, dan
jagalah minyaknya.
Jangan lagi engkau berkata, besok, besok; sudah terlalu banyak
besokmu yang terlewat. Jangan sampai tiada hari tanam tersisa.
Dengarkanlah nasehatku, jasmanimu itu yang mengikatmu, tanggalkan
jasmanimu rentamu, jika kau inginkan pembaruan.
Tutup mulutmu, dan bukalah buah berisikan emas: tanggalkan
keakuanmu, perlihatkan kemurahanmu.
Kemurahan berarti meninggalkan syahwat dan hawa-nafsu; orang yang
tenggelam dalam hawa-nafsunya, sulit mentas lagi.
Kemurahan adalah salah satu cabang cemara di al-Jannah: malang
lah orang yang tak berpegangan pada cabang semacam itu.
Menanggalkan hasratmu adalah pegangan yang paling kuat: cabang
itu menarik jiwamu ke Langit.
Karena itu jadilah pemurah, wahai penganut ad-Diin, sehingga
terangkat engkau ke sumber cabang itu.
Jadikan Yusuf yang cantik sebagai teladan keindahan jiwamu, perlakukan
alam-dunia ini sebagai sumur, gunakan kemurahan dan keberserahan
kepada karsa Rabb sebagai tali untuk mentas ke atas.
Wahai peneladan keindahan Yusuf, tali telah diturunkan, raihlah
dengan ke dua belah tanganmu; jangan kau lepaskan, karena hari
telah larut.
Berpujilah kepada-Nya ketika tali telah terjulur; itu dari
semesta yang sangat nyata, tapi tak nampak.
Semesta fenomenal ini, sebenarnya hanya wujud yang mungkin, tapi
telah menjadi sangat nyata bagimu, sementara semesta yang sejati, semakin
tersembunyi.
Seperti debu bertaburan dipermainkan angin, bagaikan fatamorgana yang
menghijab.
Yang tampak ramai ini sejatinya hampa dan dangkal, bagai
bebauan; yang tersembunyi itulah inti dan sumbernya.
Debu hanya tanda dari adanya angin: angin itulah yang
bernilai, dan tinggi derajatnya.
Mata yang tersusun dari tanah-liat, hanya akan menatap debu; untuk
melihat angin itu diperlukan penglihatan yang berbeda.
Seekor kuda mengenal kuda yang lain, karena mereka sejenis: hanya
penunggang kuda dapat mengenali sesama penunggang.
Yang dimaksud dengan kuda itu adalah mata syahwatiah, sedangkah
sang penunggang adalah Cahaya Ilahiah; tanpa sang penunggang, kuda
itu sendiri tak berguna.
Karena itu latihlah kudamu, agar dia sembuh dari kebiasaan
buruknya; jika tidak, dia akan tertolak dari majelis Sang Raja.
Penglihatan si kuda mendapati jalan, bersumberkan pandangan Sang
Raja; tanpa pandangan Sang Raja penglihatan si kuda kehilangan
panduan.
Penglihatan si kuda akan selalu menolak panduan, kecuali ke arah
makanan dan padang rumput.
Cahaya Ilahiah itu yang seyogyanya jadi penentu arah bagi
penglihatan si kuda, barulah jiwa dapat merindu Rabb.
Tidaklah mungkin kuda tanpa pengendara dapat membaca
tanda-tanda jalan. Hanya penunggang bermartabat Raja dapat
mengenali jalan Sang Raja.
Tempuhlah arah selaras dengan rasa-jati yang dikendarai oleh
Cahaya, Cahaya itu pengendara terpercaya. Cahaya Ilahiah
mengendarai cahaya rasa-jati, ini salah satu makna dari Cahaya di
atas cahaya.