Perihal Senja Yang Tak Lagi Manja
Sebuah coretan kecil perihal senja yang tak lagi manja.
Satu pesanan kata tiba-tiba masuk membunyikan notif di ponselku, tepat di waktu senja, "Boleh aku memesan prosa tentang senja?" tulisnya di papan pesan.
Sejenak aku diam, kemudian aku hening. Kemudian kepala mulai bising. Kemudian ramai kata manakala langit semakin menguning.
Pesanan prosa kala senja. Senja? Kenapa harus kembali berurusan dengan senja?
Ah, senja ...
Lagi-lagi senja.
Lagi, lagi, dan lagi
Lagi lagi lagi la-gi-la gila
Gila!
Sejujurnya, ingin kucukupkan mengocehkan senja yang sudah cukup berhasil membuatku sedemikian gila.
Aku ingin tidak peduli, meski bagi kau kemanjaan senja ibarat manis gula-gula. Atau kau, yang menggantungkan kenangan pada halaman mega langitnya. Atau kau, yang memuisikan cinta dan rindu sambil berdiri menghadap pantai senja dengan berpejam mata, membayangkan ada peluk mesra di sisa cahaya. Atau kau, atau kau, atau kau kau lainnya yang mengumpulkan keromantisan sajak matahari yang bersiap menutup hari. Apapun itu yang kau lukiskan perihal senja, tetap saja tidak merubah senjaku yang tak lagi sama dengan senja yang kau punya, senja yang kau puja.
Kemudian malam. Lalu pagi.
Kemudian siang. Lalu menuju senja lagi.
Lagi, lagi dan lagi.
Aku akan gila lagi.
Duhai ...
Bagi kau yang berlagak paling sepi, lantas di bawah langit senja kau memainkan bayang mimpi dalam imajinasi tak bertepi, hingga memaksa banjir kenanganmu itu membasahi pipi. Segeralah sudahi!
Adapun pesanan prosa yang kau pinta perihal senja, bacalah!
Senja ...
Di wajah langitnya yang berparas jingga, tulisanku tak lagi bernyawa. Diksi-diksiku tak lagi memiliki romantika dan tidak juga menadakan melankolia. Begitu pun kata-kata, yang tak hendak menjelma wajah indah dalam rupa semiotika atau sajak bermajaskan metafora. Adapun coretan prosa sebagaimana yang kau pinta, nasibnya sama saja ... tak lagi berwarna, dan tidak terbaca.
Lalu aku. Lalu waktu. Lalu kepala berbatu-batu.
Lalu beku. Lalu buntu. Lalu kertas senjaku masih begitu.
Senja dan aku
adalah hati yang tanahnya kemarau.
Senja dan kau
adalah merah saga yang kemilau.
Bila nanti ada tanya-tanya berapi mengapa aku jadi sinis akan senja, akan kujawab saja tanpa tapi, "Dalam secangkir pahit sepi, senja sudah berkali-kali membunuh manisnya mimpi."
Usai.
[ Bukan pada makna sebenarnya ]
________
Senja, bagi kau yang menemukannya, semoga tak merasai kehilangan.
Dan semoga senja yang kausemogaan, mewajahkan keniscayaan.
Adapun bagi senja yang kehilangannya, ketimbang harus mati terkubur kegalaun, mari sama-sama memasang perban. Membalut rasa suram ke dalam dada keindahan. Yakinkan diri bahwa kau takkan mati meski ada cinta yang terbunuh. Tatap langit dan percayalah, kau akan jauh lebih berarti, kau akan jadi warna cahaya pada kehidupan baru yang nantinya datang menyentuh.
Azer, 2020