Senja dan Sebuah Harapan


Sore itu, menjelang senja. Setelah lama tidak bertemu kau tiba-tiba datang ke kantinku, meminta sedikit waktu untuk sekadar membuang resah. Segelas es jeruk kusuguhkan untukmu, gratis. Dan secangkir teh hangat untukku.

Di hadapanmu beberapa lembar tempe mendoan terhidang, hangat. Yang ini kau harus bayar. Ingat, satu gorengan satu cabe!

"Sekarang, ceritalah!" Aku duduk berhadapan denganmu.

Kau memandangku sesaat, kemudian melemparkan tatap ke arah danau buatan di arah utara kantin. Perlahan bibirmu mulai bergerak, cerita pun mulai mengalir dengan tanpa memandangku.

"Sekitar 5 tahun lalu, tepatnya saat aku masih duduk di bangku kelas XI SMA, aku pernah jatuh cinta pada seoarang gadis yang saat itu masih duduk di bangku SD kelas VI. Lucu, bukan? Tapi begitulah cinta, ia datang dari arah yang tidak disangka dan tanpa aku minta. Tentunya aku pendam rasa itu, sebab akan terkesan aneh, anak SMA mengungkapkan perasaan pada gadis belia yang mungkin belum tahu-menahu masalah itu."

Aku hanya manggut-manggut menanggapi ceritamu. Dan harus kuakui memang, anak SD zaman sekarang apalagi yang perempuan sudah banyak yang pandai berpenampilan. Namun perlu kugarisbawahi juga kalau kau itu bodoh. Bodoh! Seharusnya kau tahu, bahwa sesungguhnya anak SD sekarang jauh lebih ahli masalah begituan. Ah, lama di pesantren kau rupanya jadi super KUDET. Sepertinya perlu aku tunjukkan tempat tongkrongan 'mamah-papah' kecil itu padamu. Tidak perlu, tugasku saat ini cukup mendengarkan ceritamu saja.

"Tiga tahun berlalu," lanjutmu. "Lulus SMA aku masuk ke pesantren. Dan aku mulai kehilangan kontak dengan gadis itu. Entah mengapa rindu padanya terus tertabung dalam ribuan waktu. Wajahnya kerap muncul di lembar-lembar kitab yang kubuka sampai seringnya ia hadir dalam selimut mimpiku. Hanya doa ... ya, aku hanya bisa melangitkan doa yang kata para pecinta merupakan utusan mujarab untuk sebuah rindu.

"Tepat di tahun ke empat, aku ditakdirkan bertemu kembali dengannya yang saat itu akan masuk SMA. Seolah ini jawaban Tuhan atas doa-doa rinduku. Kau tahu, aku begitu senang mengetahui bahwa gadis pujaanku tumbuh menjadi sedemikian menawan, teramat rupawan. Namun, ada satu hal yang membuatku merasa path. Aku, aku kedahuluan orang lain."

Boom!
Kecewa. Itu pasti. Tapi kau bisa apa? Memaksa gadis itu untuk membalas rasa cinta yang bahkan tak pernah dan tak sempat kau ucap?
Kupikir hanya perempuan yang suka menyimpan harapan, ternyata lelaki juga diam-diam melakukan hal yang sama. Bahkan lebih dalam.

Kucomot tempe mendoan. Ini jauh lebih nikmat ketimbang omong kosong tentang cinta.
"Lantas, apa yang kau lakukan atas takdir yang menimpamu?" Aku mencoba menanggapi dalam jeda ceritamu. "Kau diam saja dan mundur alon-alon, atau berlagak bersikap layaknya tokoh-tokoh yang ada dalam cerita fiksi?"

"Aku bertahan sampai sekarang. Menahan rindu yang kian menggunung. Sebab rasaku ini semakin hari justru semakin tumbuh walau tidak sekalipun tertanami kasih. Perasaan cintaku tertahan hingga saat ini, tepatnya di 5 tahun kemudian," jawabmu sok tegar.

Ahakk! Gila!
Aku terbelalak, gigitan cabe nyangkut di tenggorokan. langsung kuseruput habis air teh yang mulai mendingin.
"Huaah.. fuhh ... Lan--lantas tujuanmu menceritakan semua itu kepadaku supaya apa?" tanyaku sambil menahan sisa pedas.

"Minta kesimpulan atau wejangan, bukankah kau ahlinya? Kau salah seorang kawan lelakiku yang pandai merangkai hikayah dan syair-syair ihwal cinta, kurasa suatu kehormatan bisa menceritakan kisah cinta pada orang seperti engkau."

Aku tak bisa menahan tawa.
"Ahaha. Sialan sekali kau ini. Itu sanjungan yang terlalu kurang ajar. Baiklah, berhubung waktu hampir menjelang magrib yang tentunya kau akan menyembah Tuhanmu, langsung kukatakan sejujurnya bahwa kau itu tolol dan gila."

"Maksudmu?"

"Kau buang waktumu untuk suatu ketidakpastian dan mempertahankan perasaan pada seorang wanita yang menjatuhkan cintanya pada pria lain. Itu berlebihan, Sobat. Kau santri, seharusnya kau tahu, bahwa berlebihan itu adalah kesalahan, termasuk berlebihan dalam hal mencinta. Hmm, kupikir kau termasuk di dalamnya."

"Ah, seharusnya begitu. Mungkin aku tengah khilaf. Apa yang sebaiknya kulakukan?"

"Bunuh perasaanmu!" tegasku.

"Terima kasih. Sepertinya ini saran yang masuk akal."
Kau mencoba tersenyum, tapi raut ketidakrelaan itu terlihat jelas. Kau berdiri, Lantas mohon pamit tepat saat azan berkumandang.

Baiklah, dari sorot matamu aku bisa membaca kalau kau akan tetap bertahan dan mengharap belas kasih Tuhan agar suatu saat nanti gadis pujaanmu itu ditakdirkan untukmu. Selama janur kuning belum melengkung, tentunya.

Itu bagus. Sebab selama kau punya Tuhan, hiduplah dalam pengharapan. Bila tidak punya harapan, kau akan jadi gila sepertiku yang sering dianggap sebagai ahli cinta lantaran hikayah dan gubahan syairnya namun nyatanya tidak becus mengatasi kisah cintanya sendiri.

Hm, akhirnya setelah sekian lama, aku bisa kembali merasakan kisah senja yang menawarkan aroma pengharapan yang sempat redup lantaran kegagalannya. Semoga harapan senjamu tersemogakan, Kawan.


Usai.


Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url