Coretan - Gerbang Rindu
Setelah usaha yang ke sekian kalinya, akhirnya aku berhasil menembus gerbang penghalang yang selama ini menjadi sekat pemisah antara aku dan engkau, Putri. Dengan langkah tak sabar aku bergegas memasukinya dan berlari menujumu.
Aku tertegun, alangkah indah tempat ini. Semacam taman yang dipenuhi sinaran cahaya putih, menenangkan. Lembutnya kabut serta lirih hembus angin turut menentramkan suasana. Aroma bunga-bunga mekar yang mewangi semakin membawamu dalam ingatanku. Ketahuilah, Putri, rinduku tak lagi tertahankan.
Semakin dalam aku memasuki tamanan ini, semakin bertambah pula ketakjuban akan pesonanya. Namun percayalah bahwa tak ada yang lebih membuatku takjub dibandingkan paras pesonamu, Putri. Kau tahu, parasmu berjuta kali lebih pesona dari segala pesona yang ada. Kau, Putri jelita yang tulus menyuguhkan hidangan cinta untukku yang hanya lelaki jelata. Kau, Putri yang mengirimkan sayap-sayap rindu sebagai utusan mulia. Ingatlah, aku akan selalu rela meneguk semua luka dan dukamu, Putri.
Aku menghentikan langkah tatkala sosok gadis bergaun indah nan mewah dengan warna putih bersih berdiri tak jauh dari hadapanku, menghadap danau luas berair bening, sangat bening. Namun tak lebih bening dari danau matamu, Putri. Rambut panjangnya yang bermahkotakan kembang, bentuk tubuhnya, jemari lentik dan juga aroma tubuhnya, aku begitu mengenalinya. Debar kegirangan di dadaku berdeburan, aliran darahku menari-nari dengan ritme yang amat cepat. Lihat, lihatlah. Gadis yang selama ini kurindukan tengah berdiri di depan mataku. Aku yakin itu kau, Putri.
"Tuan Putri!" panggilku lirih sepenuh hati.
Engkau menoleh penuh keanggunan. Kibaran rambutnmu begitu menawan saat angin membelaimu. Mata indah itu terlihat merdu meski menyimpan sendu. Kau menatapi sepenuh diriku. Lantas tersenyum haru. Kurentangkan kedua tangan. Engkau berlari menujuku, menenggelamkan diri dalam pelukku. Seketika tumpahlah tangismu.
"Betapa tega kau biarkan aku dalam pedihnya penantian, Azer!"
"Maafkan hamba, Putri. Hamba telah berusaha sejauh ini dan baru kali ini berhasil menembus gerbang itu."
"Tidakkah kau tahu betapa di sini aku begitu merinduimu?"
"Hamba tahu, Putri. Hanya saja hamba tahu diri siapa diri ini."
"Jangan begitu, Azer. Cintaku tidak memandang kasta, harta dan tahta. Perasaanku ini tulus dan murni adanya. Ia datang tanpa pernah aku memintanya."
Kukecup keningmu. Engkau semakin tenggelam dalam pelukku.
"Berikan segala duka rindumu, Putri. Berikan padaku demi melepas penatnya penantian."
Tak berapa lama tubuhku tiba-tiba memudar. Kami sama terkejut.
"Pu-putri ... apa yang terjadi. Tu-tubuh hamba." Aku panik.
"Azer ... kumohon tinggallah di sini. Jangan pergi lagi!"
Tangismu pecah saat genggamanku terlepas dan tubuhku semakin melayang dan terus memudar sampai akhirnya menghilang dari hadapanmu.
"Azeeer!"
"Zer ... bangun! Woy, Zer, bangun!"
"Huaaaaaaahhh!"
Aku berteriak sejadinya. Geram. Bagaimana tidak. Gerbang mimpi yang akhirnya aku berhasil memasukinya harus kandas gara-gara ulah anak kunyuk satu ini. "Sial! Sudah sering kali kubilang jangan pernah ganggu tidurku, gobl*k!!"
"A-anu, Zer."
"Anu-anu apa!"
"Anu, tadi lu bilang kan lu mau tidur. Jadi aku cuma mau ngingatin biar lu kagak lupa."
__usai