Syair Imam Syafi‘i tentang Wanita
Jika disebut nama Imam Syafi‘i, maka yang terbersit pertama dalam pikiran adalah fikih. Dan, barangkali sedikit dari kita yang mengetahui jika Imam Syafi‘i selain pakar fiqih beliau juga merupakan seorang penyair, meski beliau tidak menulis buku khusus untuk syair-syairnya.
Imam Syafi‘i menyenandungkan syair secara spontan sebagai cerminan atas keadaan tertentu atau sebagai jawaban pertanyaan seseorang kepadanya. Seorang murid yang mendengar syair itu akan menghafalnya, lalu menyampaikannya dari mulut ke mulut, turun-temurun. Kemudian, para ulama-penulis akan menukil untuk buku-buku mereka syair-syair yang sesuai dengan tema yang mereka tulis. Akhirnya, tersebarlah syair-syair Imam Syafi‘i di berbagai karya tentang hadis, fikih, sejarah, bahasa, etika, dan sebagainya.
Dan, Dîwân al-Imâm al-Syâfi‘i adalah sebuah buku kecil yang merangkum syair-syair Imam Syafi‘i —ada sekitar seratus lima puluhan syair— yang terkumpul di berbagai karya tersebut. Tertulis di sampul buku itu, perangkumnya bernama Yusuf Syekh Muhammad al-Biqa‘i, seorang profesor bahasa dan sastra Arab. Sebagian besar syair-syair dalam Dîwân tersebut memotret soal moral dan nasihat serta refleksi dari keadaan masyarakatnya saat itu, sekaligus mencerminkan gambaran diri Sang Imam.
Ada salah satu syairnya yang jika dibaca, kita akan tahu betapa Imam Syafi‘i begitu menghormati wanita. Ia tidak menempatkan wanita di posisi yang pantas dipojokkan atau menjadi bahan olok-olok. Simaklah syair berikut…
أَكْثَرَ النَّاسُ فِي النِّسَاءِ وَقَالُوا
إِنَّ حُبَّ النِّسَاءِ جَهْدُ الْبَلَاءِ
لَيْسَ حُبُّ النِّسًّاءِ جَهْدًا وَلَكِنْ
قُرْبُ مَنْ لَا تُحِبُّ جَهْدُ الْبَلَاءِ
Banyak orang memperbincangkan wanita,
dan mereka mengatakan: mencinta wanita itu puncak bencana.
Puncak bencana sesungguhnya bukanlah mencintai wanita,
melainkan berdekatan dengan orang yang tak kaucintai.
Mungkin saja, Imam Syafi‘i hidup dalam masyarakat di mana faktor lelaki begitu dominan, saat para lelaki menganggap kelelakian adalah alasan yang membuat seorang lelaki bisa di atas wanita dalam berbagai hal. Sehingga seseorang mudah saja mengolok-olok wanita. Atau, mungkin saja, pada suatu ketika, Imam Syafi‘i pernah melewati sekelompok laki-laki yang sedang nongkrong, dan mendengar mereka membicarakan kesialan mereka sendiri tentang wanita. Namun, kesialan itu mereka nisbatkan kepada wanita.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga tulisan ini menambah wawasan kamu.