DIALOG SENJA


Berikut ini adalah beberapa obrolan kecil Mas Azer dengan Nona. Karena menjadi post konten, tentunya penulisannya sudah mengalami polesan. Meski begitu, penulis tidak merubah makna percakapan aslinya. Selamat membaca!


DI HADAPAN RINDU 

“Tuan, rindu itu kebodohan. Kau orang pandai, jangan mau dibodohi oleh rindu.” 

Aku tersenyum mendengar ucapanmu. Sungguh spontanitas kata yang lugas.
“Kalimatmu selalu saja mengejutkanku, Nona.” 

“Aku hanya mengatakan apa adanya,” balasmu.

Aku diam sejenak, menatap wajah manis yang sinis. Tidak salah kalau aku memilihmu sebagai seseorang yang mendiami hatiku. Aku benar-benar tak bisa berhenti tersenyum menatap kemanisanmu ini.

“Nona, di hadapan cinta dan rindu, aku hanyalah bocah. Jadi, bila rindu itu perihalmu, aku rela untuk selalu bodoh. Eumh, lebih pasnya bocah yang bodoh.”

“Jangan gila, Tuan.”

“Aku sudah terlanjur gila, Nona.”


***

I N S T I N G 

“Kesedihan rindu, kemalangan cinta, atau apalah namanya, bukankah bagi penyair sepertimu hal semacam itu merupakan duka paling bahagia?”bualmu di antara gemintang yang berkedip menyaksikan keberduaan kita.

Aku tertawa kecil. “Entahlah. Pemikiranmu selalu gila seperti biasanya. Dan bukankah sering kukatakan kalau aku bukanlah seorang penyair?”

“Ya ya ya ... kau akan bilang kalau kau hanya penikmat diksi. Oke fine. Apapun sebutan menurutmu aku percaya pada apa kuucapkan tadi. Nggak mau tahu, kau harus iya. Dan aku tetap pada satu keyakinan tentangmu.”

“Haihh, menyebalkan. Btw, apa yang kau yakini perihalku?”

“Setragis apapun tulisanmu, sesedih apapun puisimu, aku selalu yakin kalau kegalauan akan segan menghampirimu.”

“Ahaha, ada-ada saja ramalanmu kali ini ...”

“Ini bukan ngeramal. Jangan lupa, aku ini perempuan.”

“Ya, perempuan dengan insting tajamnya. Tapi insting perempuan nggak selamanya bener juga, kan.”

“Memang nggak selamanya, tapi banyak benernya.”

“Hemh, terserah kau sajalah.”

Malam berlanjut, dan percakapan jauh semakin gila.


***

PESAN  PUISI

Pesanmu pada suatu malam yang insomnia:

“Tuan, teruslah berpuisi. Aku akan selalu menyukainya. Sebab puisi-puisimu tempat bernaung bagi rinduku, sebab puisimu tempat berpulang rinduku. Rindu yang tak mungkin menciptakan temu, rindu yang tak bisa lagi menujumu.

Jadi kumohon sekali lagi padamu, Tuan, teruslah berpuisi untukku; Nonamu.”


***

K U A T

“Aku baik-baik saja kok.” Kau memasang senyum yang terpaksa, namun duka itu tak sepenuhnya tersembunyi.

“Kau tidak sedang baik-baik saja, biar kutemani.” Aku tidak sedang menebak, tapi itulah yang rasakan.

“Jangan kasihani aku. Aku cewek kuat. Aku nggak boleh nangis, kan?” Kau masih berusaha menahan mendungmu agar tak menjadi hujan.

“Kau kuat. Ya, aku percaya itu. Tapi bukan berarti kau tidak boleh nangis. Menangislah bila memang harus menangis. Dan karena kita punya Tuhan, hiduplah dalam pengharapan.” 


***

MENGAPA SENJA?

“Tuan, mengapa kau menyebutku Senja? Rasanya, itu terlalu manis buatku.”

“Sebenarnya bukan begitu maksudnya. Aku menyebutmu Senja karena ...,” Aku memberi jeda sejenak, menarik napas, dan melempar pandangan ke arah dedaunan yang dibuai angin, “karena aku adalah fajar.”

Sang gadis bergeming. Kata-kata menjelma hening.

_______

  • Sebagaimana Senja yang tak bisa bertemu dengan Fajar, begitulah aku dan kamu, Nona.
  • Aᴋᴜ ᴅɪᴜᴊɪ ᴅᴇɴɢᴀɴ sᴇsᴇᴏʀᴀɴɢ ʏᴀɴɢ ᴍᴇɴᴅɪᴀᴍɪ ʜᴀᴛɪᴋᴜ, ɴᴀᴍᴜɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ʜɪᴅᴜᴘ ʙᴇʀsᴀᴍᴀᴋᴜ.


***





Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url