Pesan Terakhir Layla



Di taman, daun-daun berguguran seperti air mata. Bunga-bunga telah menanggalkan gaun musim panas mereka yang berwarna-warni. Lalu mengenakan jubah gelap musim dingin. Warna putih melati telah kehilangan kesegarannya. Mawar menggugurkan helai-helai daun. Bunga-bunganya seakan-akan meratapi berakhirnya musim panas. Bunga narsi mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya dan bersiap untuk pergi, bagaikan para nelayan yang ketakutan akan badai yang pernah mendekat.

Layla pun tidak jauh berbeda. Musim seminya telah berakhir, berubah menjadi musim dingin akibat dari jari buku takdir oleh sentuhan dingin kesengsaraan hidup yang sangat berat. Kehidupan yang pernah cemerlang di dalam dirinya, kini tidak lebih dari sebuah kerlip api kecil yang dipermainkan oleh angin yang dapat padam sewaktu-waktu. Dari sebuah bulan purnama yang dulu bersinar-sinar, kini hanya sebuah bulan sabit pucat yang tersisa. Dari pohon cemara yang dulu berdiri megah, kini hanya sebuah bayangan lemah yang dapat terlihat.

Layla bagaikan bunga yang telah kehilangan kesegaran dan daun-daunnya berguguran. Bahkan Layla bukanlah Layla lagi. Tubuhnya terserang demam. Tubuhnya begitu lemah hingga ia tidak dapat meninggalkan ranjangnya. Segera jelas tampak olehnya bahwa ia tidak akan lama lagi berada di dunia ini.

Layla sadar bahwa malaikat maut telah datang. Ia dapat merasakan kehadirannya di dalam kamarnya. Ia dapat merasakan nafas dingin di tengkuknya, menyadari bahwa waktu untuk pergi telah tiba.

Layla tidak mengizinkan seorang pun menjenguknya selain ibunya. Sebelum semuanya terlambat, ia memutuskan untuk membuka rahasianya untuk pertama dan terakhir kalinya. Ia menggenggam tangan Ibunya dan berkata: 

"Duhai, Ibu. Cahayaku telah memudar dan lilin keabadianku akan segera padam. Sebelum kegelapan datang dan nyawaku diambil, aku harus menceritakan apa yang kupendam di dalam hatiku. Sungguh aku tidak memiliki pilihan lain selain melepaskan bebanku. Kesedihan telah menghancurkan belenggu di bibirku dan aku tidak dapat menahannya lagi. Orang yang kucintai; seorang laki-laki yang karenanya aku hidup dan karenanya aku mati saat ini berada jauh dan tak dapat mendengarku, tapi kau dapat mendengarku.

"Duhai, Ibu, karena kau dapat mendengarku maka aku mohon padamu untuk memenuhi permintaan terakhirku.

"Ketika aku mati, pakaikanlah aku baju pengantin. Jangan bungkus aku dengan kain kafan. Riaslah aku seperti pengantin dan buatlah aku secantik mungkin. Untuk mewarnai kelopak mataku, kau harus mengambil debu dari bawah telapak kaki kekasihku, bukan warna ungu yang kuinginkan. Kau harus menggunakan kegelapan lukanya. Bukan pula air mawar, kau harus menggunakan air matanya untuk memandikanku. Dan bukan minyak kasturi, kau harus menggunakan kesedihannya sebagai wewangianku.

"Baju pengantin harus berwarna merah darah, warna kesyahidan. Bukankah aku seorang suhada dalam cinta? Merah adalah warna perayaan dan upacara. Bukankah kematian adalah perayaanku? Dan bukankah ia upacaraku? Kemudian setelah kau memakaikan baju merah itu tutupi aku dengan cadar dari tanah. Cadar yang tidak akan pernah aku lepas lagi. Dan aku akan menunggu hingga ia datang, karena ia pasti akan datang.

"Pengelana yang resah, pengembara cinta yang abadi itu akan menemukan jalan menuju makamku, dan di sana ia bersimpuh serta memohon padaku untuk menunjukkan diri. Namun cadar dari tanah itu tidak akan terangkat. Maka yang bisa dilakukan hanyalah menangis tersedu-sedu. Tenangkan ia, Bu, karena ia adalah sahabat sejatiku. Perlakukan ia dengan baik dan berikanlah ia kasih sayang seakan-akan ia adalah anakmu sendiri. Lakukan ini untuk Tuhan dan untuk cintaku padanya. Aku mencintainya lebih daripada aku mencintai kehidupan.

"Dan keinginanku adalah kau harus mencintainya juga. Dia adalah satu-satunya milikku, ibu. Dan aku mewariskannya padamu untuk kau jaga."

Napas Layla terengah-engah. Sinar matanya memudar. Butir-butir keringat muncul seperti mutiara-mutiara di dahinya yang berwarna gading. Layla belum selesai. Suaranya berubah menjadi bisikan lirih. Ia melanjutkan kalimatnya, 

"Jika ia datang kau akan segera mengenalinya. Ketika ia datang sampaikan pesanku ini kepadanya:

Ketika Layla meninggalkan dunia ini, ia meninggalkan dengan namamu di bibirnya. Kata-kata terakhirnya adalah tentang kau dan hanya engkau seorang. Di dalam kematian seperti di dalam kehidupan, ia setia tidak kepada siapa pun selain engkau. Ia telah ikut memikul kesedihanmu di dunia ini dan sekarang ia telah membawanya sebagai bekal bagi perjalanannya. Cintanya padamu tidak mati bersamanya. Dimana pun ia berada sekarang, ia tetap merindukanmu.

Memang kau tidak dapat menembus tabir tanah ini dan menatap matanya. Namun jika kau mampu, kau akan melihat bahwa dia masih tetap mencari-carimu. Mata Layla menceritakan seribu bahasa. Tiap katanya adalah namamu. Tiap Kalimatnya dipersembahkan kepadamu.

Itu adalah pesan yang harus kau sampaikan padanya, Bu."

Bibir layla bergetar. Dengan air mata mengalir di pipinya, ia memanggil nama kekasihnya untuk terakhir kalinya ketika suaranya melemah, cahaya di matanya meredup dan arwahnya melayang bebas dari belenggunya.

Ibu Layla lalu merangkul anaknya yang telah meninggalkan dunia ini. Mendekapnya erat seolah memaksa kehidupan kembali ke tubuhnya. Ia menekan bibirnya dan pipi anaknya yang pucat, kemudian membelai rambutnya. Sepanjang waktu ia membisikan nama Layla dan mencurahkan air mata kepedihan dan kasih sayang. Sang ibu rela menukar dunia ini andai anaknya dapat memperoleh beberapa waktu lagi.

Namun, walaupun ia memiliki dunia, tidak ada satu pun yang dapat membawa Layla kembali ke alam kehidupan. Gadis itu telah pergi. Tidak ada yang dapat dilakukan untuk membawanya kembali. Kematian adalah alam yang tidak seorang pun pengunjungnya dapat kembali.

Sementara ibu Layla duduk di sana  sambil menangis, rintik hujan mulai turun seakan-akan langit ikut bergabung dalam ratapannya.




Baca Selanjutnya Baca Sebelumnya
Komentar Netizen
Tulis Komentarmu
comment url